BAB 1

196 7 0
                                    

“Ferina… Mama tunggu di luar, kamu malah disini. Ayo, berangkat!” seru Wulan sabar.

Ferina menoleh, lalu mengangguk. Sebentar lagi dia akan meninggalkan tempat ini, tempat dia banyak menghabiskan sorenya dengan tenang. Tempat yang paling banyak memberinya curahan inspirasi dan kedamaian hati bersama orang-orang yang disayanginya.

Dia melangkah menuju pintu keluar. Ferina menghampiri piano itu, mengusapnya pelan sepenuh perasaan. Piano ini takkan pernah berdenting lagi, takkan melantunkan melodi yang menghanyutkan perasaan orang-orang yang mendengarnya.

Seharian pun tak akan cukup untuknya mengungkit kenangan rumah ini.

Ferina menatap pintu kamarnya yang terletak di seberang sofa keluarga. Ferina duduk di atas tempat tidur dan memandang berkeliling. Dia menghampiri sisi lemari yang sudah kosong, Ferina menarik buku kecil yang nyaris terlupakan itu 'diary bergambar Emo Bear berwarna biru kusam'.

Diary itu pernah basah oleh air matanya. Ferina memasukkan diary itu ke dalam tas dan mengunci pintu.

Dia tiba di pintu yang terpentang lebar dan melewatinya. Kini dia telah selangkah meninggalkan rumah.

“Sudah?” Wulan berkata penuh empati.

Ferina mengangguk. “Sudah.”

Wulan menarik gerendel pintu dan menutup’y dengan bunyi debam pelan. Dia mengeluarkan kunci dengan gantungan berkilau.

“Ma, biar Ferina saja yang menguncinya. Boleh, kan?” pinta Ferina.

Wulan tersenyum. “Tentu, Sayang.”

Ferina memasukkan anak kunci itu ke lubang dan memutarnya. Pintu terkunci sempurna.

Mereka melangkah melintasi halaman sambil bergandengan tangan, saling menguatkan. Akhirnya Ferina merasa emosinya sedikit mereda. Ah, semakin jauh meninggalkan semua ini, semakin baik, batinnya.

“Ferina boleh minta sesuatu, Ma?”

“Katakan saja, Sayang.” Wulan merangkul pundak putrinya.

“Ferina ingin piano itu dibawa.”

Wulan terdiam sejenak.

“Nggak boleh?” Tanya Ferina.

“Nggak kok, itu bisa diurus secepatnya” kilah Wulan akhirnya.

“Ngomong-ngomong, kamu sudah memberitahu Daddy soal kepindahan kita?”

“Tentu saja. Semalam Ferina sudah meng-email Daddy. Tapi Ferina nggak yakin Daddy akan membacanya dalam waktu dekat. Daddy masih sibuk dengan proyek Yunaninya. Menyebalkan, kan?”

“Suatu hari nanti dia juga akan kembali kepada kita, Sayang.” Kata Wulan yakin.

❤❤❤

R

umah itu jauh lebih sederhana. Sangat cocok untuk mereka berdua. Rumah itu memang tipe minimalis. Sangat praktis dan modern.

“Rumah kita?” Tanya Ferina tanpa bisa menyembunyikan kekaguman.

“Yap, welcome home.” Seru Wulan.

Mereka masuk. Rumah itu sangat sejuk dan tenang.

Ferina menjatuhkan diri ke sofa dan menyalakan TV, mencari channel kesukaan anak nongkrong se-Indonesia dan ikut bernyanyi.

Wulan sibuk di dapur, tempat favoritnya di rumah, tempat dia menghabiskan lebih dari separuh hidupnya.

Zrrt… Zrrrt…

Ferina menarik ponsel dari saku celananya.

“Ma! Telepon dari Om Surya…!!” serunya tanpa beranjak dari sofa.

“Angkat aja, Sayang…!” balas Wulan nggak mau kalah.

“Huh… si Mama!” kata Ferina seraya berlari ke dapur.

“Nih, Ma!”

“Ihh… pencetin! Pencetin! Mama kan nggak ngerti!” kata Wulan panik.

Ferina tersenyum geli. “Nih, udah. Udah.” Katanya sambil menyerahkan ponsel touch screen-nya.

“Halo? Ya? Ya, baru sampai… Lumayan melelahkan… Suka, apalagi Ferina… iya. Makasih ya.” Wulan menyerahkan ponsel itu ke tangan Ferina.

“Om Surya bilang apa?”

“Cuma memastikan kita udah sampai, terus nanya kita suka rumahnya atau enggak. Gitu…” jelas Wulan.

“Sip banget, malah!” celetuk Ferina.

VOTE & COMMENT ⬅

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang