Meski malam telah larut dan tubuhnya sangat letih, Ferina bahagia.
Ketika sudah berbaring di tempat tidur, pikiran Ferina melayang entah kemana. Diraihnya ponsel.
“Halo…” suara Yanda terdengar sangat berat.
“Udah tidur, ya?”
“Nggak ada alasan buat begadang soalnya.”
“Kalau sekarang ada gimana?”
“Mau cerita apa?” Yanda terdengar bersemangat.
Sejak kematian Faren, Ferina seolah menutup diri rapat-rapat dan tak pernah lagi berbagi cerita.
“Nggak ada. Mau tahu kabar lo aja.”
Yanda langsung kecewa. “Oh, baik aja kok. Lo?”
“Nggak tahu.”
“Kenapa nggak tahu? Apa lo masih belum bisa curhat sama gue lagi?” Yanda terdiam sebentar.
“Tahu nggak? Dia nanyain lo terus.”
“Biar aja.” Tukas Ferina.
“Nggak penting.”
“Nggak penting? Tapi gue jadinya yang repot. Lo tahu kan, gue nggak bisa bohong? Dia terus menginterogasi gue. Dia tahu gue pura-pura nggak tahu. Sampai-sampai dia mengobrak-abrik contact di HP gue. Untung nama lo gue samarin.”
“Baguslah.” Komentar Ferina.
“Fer, dia kehilangan lo.” Yanda menekankan kata kehilangan.
“Gue tanya kalian ada masalah apa, dia bilang nggak ada. Dia bahkan mengaku bingung. Kalian aneh. Sebenarnya, ada apa sih? Ini nggak biasa bagi gue!”
“Gue…” Ferina menimbang cukup lama.
“Entahlah… gue belum siap buat cerita. Semua terasa baru, masih segar. Gue nggak sanggup.”
“Gue tahu kehilangan yang lo alami sangat berat. Itu sebabnya gue nggak mau elo menahannya sendiri. Gue pengin lo bagi kesedihan itu sama gue. Bukan begini…”
“Tapi… sebenarnya nggak sesederhana itu.”
Ferina menarik napas dalam-dalam.
“Trus apa, Fer…”
“Um… gimana ya?”
Ferina tahu, di seberang sana Yanda menahan napas menunggu penjelasannya.
“Baiklah.”
Akhirnya Ferina menyerah.
Lalu kata-kata itu meluncur saja dari bibirnya. Tangis kembali mengiringi setiap untai kata yang di ucapkannya.
“Sekarang lo udah tahu alasan gue kan?” Tanya Ferina.
Yanda terdiam cukup lama.
“Gue juga nggak nyangka.” Hanya itu yang bisa di ucapkannya.
“Tapi lo beneran janji ya, setelah apa yang gue ceritain ini, sikap lo ke dia nggak bakal berubah. Bersahabatlah seperti biasa.” Kata Ferina.
“Janji.” Katanya setengah hati.
Ferina pun menceritakan semuanya. Pertahanannya benar-benar runtuh. Dia menarik napas dalam-dalam, merasa lebih lega.
“Nda, sekarang lo tidur deh. Perasaan gue udah lebih baik. Makasih ya, lo udah dengerin gue.”
Di seberang sana Yanda mengangguk tanpa suara.
“Bagaimana Ferina bisa sanggup menyimpan semua itu selama ini?" Batinnya tak percaya.
“Nda? Halooo.” Bisik Ferina.
“Eh, iya Fer.” Yanda tersentak. “Good night ya!” tambahnya buru-buru.
Setelah memutuskan hubungan teleponnya, Ferina turun dari tempat tidur dan bersandar di sisinya.
Sesaat dia melamun, memandang meja belajarnya lama sekali. Ferina bangkit dan mengambil diary yang nyaris tertinggal di rumahnya dulu.
Dia menatap diary itu. Ferina membalik sampul tebal tersebut dan langsung mendapati foto Faren yang tersenyum manis. Mata Ferina kembali berkaca.
"Apa lo masih bisa tersenyum, Ren?" Desisnya pelan.
❤❤❤
Sepertinya Tiffany sudah kehabisan kesabaran. Dia nggak boleh kehilangan Tama lagi.
Setiap kali cowok itu nggak ada, dia pasti menemukannya sedang bersama Ferina. Cewek sok manis itu sedang mencoba merebut Tama rupanya.
Sejak awal Tama melarangnya mendekati Ferina. Tama benar-benar melindungi cewek itu.
Emang apa sih istimewanya anak baru itu? Entah bagaimana cewek itu menarik perhatian Tama begitu rupa.
Tiffany setengah berlari. Dia baru saja menumpahkan tangisnya di toilet. Tangis yang membuatnya semakin percaya betapa tidak adilnya dunia ini.
Dia teramat membutuhkan seseorang yang selalu menemaninya di saat-saat seperti ini. Cuma Tama yang bisa mengerti dan menenangkannya.
Cewek itu berhenti di ujung koridor laboratorium Kimia. Sekonyong-konyong Tiffany melihatnya.
Sosok yang sedang tertawa lepas, tawa yang belum pernah didengarnya. Kenapa Tama tak pernah terlihat begitu gembira bersamanya? Dan kenapa semua itu justru terjadi saat dia bersama Ferina? Apakah selama ini dia hanya menjadi beban? Air matanya mengalir hangat.
Andai saja…
“Fan! Tiffany!!”
Tiffany melihat wajah cemas di balik air matanya. Di peluknya cowok itu erat-erat.
“Fan, lo kenapa? Ada apa?!”
Tiffany mencoba bersuara. “Mama…”
Ferina menyaksikan sendiri mereka berpelukan. Cowok itu bahkan tidak menoleh ke arah Ferina lagi, seolah-olah Ferina tak pernah ada di sana bersamanya.
Satu detik...
Tiga menit...
Apa yang mereka bicarakan?
Lima menit...
Cukup, Ferina menghela napas.
Ferina berlari, dia tidak akan menangis disitu.
➡ VOTE & COMMENT ⬅
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Past Present Love
Ficção AdolescenteAndra dan Faren, kembaran Ferina, menyimpan rahasia yang baru diketahui Ferina setelah Faren meninggal. Rahasia itu terangkum dalam diari milik Faren. Sayangnya, tak semua curahan hati Faren dalam diari itu dibaca Ferina, hingga ia membenci kembaran...