BAB 27

44 0 0
                                    

“Gue pengin ngajak lo keluar. Ada waktu kan?”

“Ada. Tapi gue lagi nggak pengin berbagi waktu. Gue pengin sendiri” kata Ferina datar.

Dia membayangkan dirinya duduk sendiri di tempat sepi sambil menenangkan hati. Ah, betapa menyenangkan, pikirnya.

“Lo yakin, Fer?” Tama agak ragu.

“Gue hanya ingin ada di dekat lo. Biar gue tahu lo baik-baik aja.”

Ferina tahu Tama sangat mengkhawatirkannya. Baginya itu sudah lebih dari cukup dan dia terhibur karenanya.

“Sudah, nggak papa. Gue baik-baik aja. Ntar malam gue telepon, dan lo akan dengar betapa senangnya gue hari ini. Oke?”

“Tapi, Fer-“

Ferina memutuskan telepon dan berangkat. Dia tahu ada cafe tak jauh dari Cafe Resort. Sepertinya cafe itu memenuhi kriteria yang di butuhkannya saat ini. Dan di situlah Ferina sekarang.

Kalau ingin keluar dengan Tiffany, mengapa Tama mengajak Ferina keluar? Apakah dia sudah menduga Ferina akan menolak ajakannya?

Ferina melihat Tiffany bicara dengan ekspresi… Ekspresi apakah itu? Entahlah.

Namun sesaat kemudian Tiffany tampak meraih tangan Tama, dan cowok itu kelihatan berusaha menariknya, tapi Tiffany menahannya sambil terus berbicara.

Perasaan Ferina langsung nggak karuan. Dia meraih ponsel dan menghubungi Tama.

Dalam hitungan detik Ferina melihat Tama menarik ponselnya dari saku. Dia mengatakan sesuatu kepada Tiffany sehingga cewek itu terpaksa melepas tangannya.

“Ada apa, Fer?”

“Lo di mana?” tanya Ferina.

Dalam hati dia membatin, "Jangan bohong. Please, jangan bohong…"

“Gue lagi di cafe, di Dido’s.”

Ferina menarik napas lega. Tama tidak berbohong.

“Sendiri?”

“Sama teman.”

“Siapa?”

“Tiffany.”

“Ohhh…” Ferina mendesah kecewa.

“Nggak bisa pergi sama gue, elo langsung nyari Tiffany rupanya. Apa lo harus di temani cewek, begitu ya?” kata Ferina dengan nada menuduh yang tidak bersahabat.

Ferina melihat Tama bergerak-gerak resah, dan mengacak rambutnya sekilas.

“Bukan begitu. Lo jangan salah paham dulu. Nanti gue jelasin. Oke? Please?”

“Terserahlah.”

Ferina mematikan ponsel.

Setidaknya Tama nggak berbohong. Cowok itu tampak memencet-mencet ponselnya, sepertinya mencoba menghubungi Ferina.
Tapi tentu saja nggak berhasil. Setelah beberapa saat mencoba, dan tahu usahanya sia-sia, Tama menyimpan ponsel dan memperhatikan Tiffany yang tampangnya cemberut.

Ferina geli karena berhasil merusak suasana hati Tiffany. Ferina terus memperhatikan. Rasanya menyenangkan menyaksikan Tiffany cemberut seperti itu, dan obrolan mereka sepertinya berakhir. Tak lama kemudian Tiffany berdiri lalu diikuti Tama.

Baguslah, batin Ferina. Tanpa sadar dia tersenyum sendiri.

***

“Hai, gue nepatin janji, kan?” cerocos Ferina sebelum orang yang sedang dihubunginya sempat bilang 'halo'.

“Ya, tentu saja lo nepatin janji.” Tama tersenyum di ujung sana.

“Yap, tentu saja” ulang Ferina.

“Gue cuma mau bilang hari ini gue senang.”

“Gue ikut senang dengarnya. Lo ngapain aja sampai merasa senang?”

“Banyak. Dan gue nggak mungkin sebutin satu-satu.”

Termasuk merusak suasana hati Tiffany sampai pertemuan kalian hanya berlangsung singkat.

“Jadi, ngapain lo sampai keluar dengan Tiffany?” nada suara Ferina datar dan dingin.

“Gue bisa jelasin.” Ujar Tama sabar.

“Begini, nggak lama setelah gue ngajak lo keluar, Tiffany datang dan meminta gue temenin dia ke cafe.”

“Terus lo langsung mau aja, gitu?”

“Fer, bagaimana pun Tiffany sahabat gue, lo sendiri tahu dia kayak apa. Bagi gue, nggak ada salahnya gue nemenin dia sesekali.”

Ferina mendesah keras. Dia sudah tahu bakal begini. Tiffany nggak bakalan melepaskan Tama semudah itu.

Walaupun gue belum sepenuhnya yakin dengan keputusan gue ini, kali ini gue akan membiarkan dia menemui cintanya.

Ferina masih ingat jelas bagian terakhir surat Tiffany itu. Dari perkataannya jelas sekali cewek itu nggak bakal melepas Tama seutuhnya, meskipun Tama sudah menjadi pacarnya.

“Baiklah, jadi ngomongin apa?”

“Nggak ada yang terlalu penting.”

“Oh ya, seperti itu nggak ada yang terlalu penting?” nada suara Ferina mulai meninggi.

Dia jadi teringat waktu Tiffany menggenggam tangan Tama, dan jujur dia cemburu.

“Seperti itu? Seperti apa maksud lo?”

Ups, bodoh…

Jangan sampai keceplosan Ferina…

“Yah, maksud gue tiba-tiba ngajakin lo gitu” Ferina berkilah.

“Nggak ada, cuma nemenin dia minum di cafe aja.”

“Jujur aja kenapa sih?!” Ferina benar-benar nggak sabar lagi.

“Gue tahu ada yang lebih daripada sekadar duduk-duduk di cafe.”

“Kok lo ngomong begitu sih?” tanya Tama curiga.

“Karena gue ada disana menyaksikan kalian berdua dengan mata kepala sendiri!”

Dan setelah mengucapkan itu Ferina mematikan ponsel dan melemparnya dengan gusar.

👈 NEXT PART 👉

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang