BAB 28

38 0 0
                                    

Ferina ada di sana. Tama tidak mempercayai pendengarannya. Tapi semuanya masuk akal.

Tama ingat, begitu Tiffany menggenggam tangannya, Ferina langsung menelepon dan menanyakan dia ada dimana, bersama siapa. Itu karena Ferina tahu, dan dia melihatnya sendiri.

Tama nggak tahu harus bilang apa. Waktu itu Tiffany bilang dia nggak bisa kehilangan Tama dan ingin mereka kembali seperti dulu. Tama langsung menolak dengan halus, meminta Tiffany memahami posisinya. Tapi Tiffany keras kepala dan berkata tidak mudah baginya untuk menerima perubahan yang begitu menyesakkan.

Tama memandang layar ponselnya sejenak dan menghubungi Ferina kembali, mungkin dia bisa menjelaskan sedikit.

Berkali-kali dia mencoba, meskipun tahu Ferina pasti telah mematikan ponselnya dan nggak kepingin bicara dengannya.

Tama merebahkan tubuh. Bagaimana caranya mengatasi situasi ini? Beberapa hari belakangan Ferina memang tampak murung, seolah ada sesuatu yang membebani pikirannya, namun dia tak ingin seorang pun tahu.

Dia memendamnya sendiri. Semua itu terlihat sangat jelas. Ferina sendiri juga tidak berbohong pada Tama dan sahabat-sahabatnya bahwa dia memang sedang memikirkan sesuatu, dan dengan tegas mengatakan tak ingin membahasnya. Dan sekarang Tama sudah menambah beban pikiran Ferina dengan masalah ini.

***

“Ma, Ferina berangkat ya" kata Ferina sambil mencium mamanya.

“Beberapa hari ini Tama kok nggak datang jemput ya?” tanya Wulan penasaran.

“Kalian bertengkar?”

“Nggak. Kami baik-baik aja kok, Ma. Ferina cuma lagi kepingin sendiri aja” jawab Ferina.

“Dah, Ma…”

Sejak kasus Andra dan Yanda, Ferina tak henti memikirkan ulang semuanya. Semua yang telah terkubur perlahan kini muncul dengan jelas dalam benaknya.

Mengapa dia masih mengkhawatirkan Andra?

Semalam Ferina nyaris menelepon Yanda, tapi dia mengurungkan niatnya. Yanda sudah berpihak kepada Andra. Ini sangat mengganggu Ferina.

Ferina keluar dari rumah dan memandangi penginapan di depan rumahnya. Di tatapnya sebuah jendela di lantai dua. Entah kenapa, sejak kemarin Ferina merasa ada yang mengawasinya dari sana. Dia terus memandangi jendela yang tertutup gorden tipis itu. Aneh.

Sesampai di luar pagar Ferina mengeluarkan diary Faren dari tasnya. Di tatapnya sejenak benda itu. Semua berawal dari sini, dari diary ini.

Ah, seharusnya diary ini tidak pernah ada. Kalaupun ada, seharusnya sudah di buang sejak dulu. Tapi tak ada kata terlamabat, pikir Ferina. Dia bisa membuang diary itu sekarang. Meskipun tidak banyak membantu, setidaknya lebih baik begitu.

Ferina menarik napas dalam-dalam, lalu melemparkan diary tersebut ke tumpukan daun kering yang nanti siang akan di bakar Mama.

“Selamat tinggal kenangan” bisik Ferina sambil tersenyum getir.

Senyum yang takkan mungkin dapat dimaknai siapa pun.

👈 NEXT 👉

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang