Keesokan harinya Faren masih belum bisa menemani Ferina pergi.
“Maaf, Fer. Aku harus menyelesaikan tugas paper dari Mr. Brian. Waktunya udah mepet banget nih, Fer. Kalau nggak percaya, tanya aja Yuki atau Lira.” Ujar Faren seraya menyodorkan ponselnya.
“Duh, gimana siiih…” erang Ferina kesal.
“Maaf…”
“Ya, udah! Pergi sana! Pergi pergi pergiiiii!!!”
“Fer… maaf ya, kalau aku jadi sering bikin kamu sebel…” ujar Faren.
“Udah… nggak papa!” tukas Ferina.
Faren menggenggam tangan Ferina erat-erat.
“Maaf ya, udah bikin kamu sebel.”
Dia mengulangi ucapannya.
“Aku sayang banget sama kamu. Aku janji, setelah ini aku nggak bakal bikin kamu sebel lagi, dan nggak akan pernah bikin kamu marah…”
Faren memeluknya erat-erat dan lama, seolah-olah takkan pernah melepaskan Ferina lagi.
Akhirnya Ferina sendiri yang melepaskan pelukan itu dan mendorong Faren dengan lembut.
“Iya-iya.” Ujar Ferina yang heran adegannya yang tiba-tiba jadi melankolis begini.
“Take it easy…”
Akhir-akhir ini Faren sering nggak punya waktu untuk menemani Ferina. Sepertinya Faren sibuk terus dengan kegiatannya, seperti mungkin juga dialami semua siswa Courdia International School (CIS).
Ferina meregangkan tubuh dengan malas. Kemudian bergerak-gerak untuk melakukan otot-ototnya yang tegang. Dia memutuskan untuk melakukan kesibukan lain yang lebih menarik, seperti… menggambar!
Karena terlalu asyik menggambar, dia nyaris tidak menyadari telepon rumahnya sudah berdering heboh sejak tadi.
“Iya-iya!” omel Ferina seraya bangkit berdiri dengan terburu-buru.
Tanpa sengaja tangannya menyenggol sesuatu.
PRAAAAANG!
Mug kesayangan Faren!
"Astaga, Faren bisa ngambek!" Pikir Ferina.
Sekelabat perasaan aneh seolah menyentaknya. Namun Ferina segera menepis perasaan itu dan mengangkat telepon yang sudah hamper hilang kesabaran itu.
“Halo.” Ujar Ferina cepat.
“Ya? Benar. Apa?! Ta… ta… tapi… nggak mungkin!”
Ferina membanting telepon dan merosot duduk disamping meja. Dunianya berputar cepat. Tubuhnya sekonyong-konyong terasa sangat ringan, tulang-tulangnya seperti lenyap. Rasanya seperti bermimpi. Ini hanya mimpi...hanya mimpi…
Ferina meyakinkan dirinya diantara deru napasnya yang memburu.
Faren – kecelakaan – Instalasi Gawat Darurat - tak sadarkan diri.
Ferina berusaha merangkai potongan-potongan kata yang tadi didengarnya. Tapi nggak mungkin! Tadi Faren masih bersamanya. Faren menggenggam tangannya dan berjanji takkan pernah membuatnya marah lagi. Kalau begitu, cerita konyol dari mana ini?
❤❤❤
Bersama Wulan, Ferina pergi ke rumah sakit.
Faren tampak tak berdaya. Kecelakaan beruntun telah mengantarnya ke tempat ini, dengan kondisi yang tak terkatakan dan penuh derai air mata.
“Mama…!” Ferina tak sanggup melihat Faren, dia langsung memeluk mamanya dengan tangisan tak tertahan.
Wulan yang telah bersusah payah membangun ketegaran akhirnya roboh dan ikut menangis. Tubuhnya gemetar hebat dan perlahan dia menelan tangisnya, memberi sedikit kekuatan kepada Ferina untuk menerima kenyataan.
Apakah Faren merasa sakit? Apakah dia merasa tak berdaya? Tapi kenapa Faren begitu tenang, seolah-olah tidak merasakan apa-apa? Apakah dia memang tak bisa lagi merasakan apa pun?
“Ren…” Ferina mencoba menggenggam jemari Faren yang penuh goresan dan memar.
“Reeen…” air mata Ferina kembali menetes.
“Gue di sini, Ren…”
Ferina menunduk pedih di samping Faren.
“Gue di sini…”
➡ VOTE & COMMENT ⬅
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Past Present Love
Teen FictionAndra dan Faren, kembaran Ferina, menyimpan rahasia yang baru diketahui Ferina setelah Faren meninggal. Rahasia itu terangkum dalam diari milik Faren. Sayangnya, tak semua curahan hati Faren dalam diari itu dibaca Ferina, hingga ia membenci kembaran...