BAB 26

43 0 0
                                    

“Apa pun masalah yang lagi lo hadapi sekarang ini, gue harap masalah itu cepat selesai. Walaupun gue nggak ngerti kenapa lo nggak mau share. Yang jelas gue akan selalu ada di sisi lo dan mastiin lo baik-baik aja.”

Ferina tertunduk diam. Setidaknya di tempat ini dia merasa sedikit bebas. Disini dia bisa menatap bentang lautan biru yang menyegarkan, merasakan hembusan angin yang meniup helaian rambutnya yang indah.

“Fer…“ tegur Tama sambil menggenggam tangan Ferina.

“Hmmm?” kata Ferina.

“Lo nyaman kayak gini?”

Ferina mengangguk dan kembali menatap laut.

Tak ada yang bisa membuatnya nyaman selain keheningan ini. Ferina merasa tenang dan tidak terusik. Cukup ada seseorang di sampingnya yang bersedia menemani, meskipun dia sedang nggak ingin bicara banyak.

Ferina menghirup udara segar dan menghembuskannya perlahan-lahan. Sangat tenang. Dia merebahkan kepala dan bersandar di bahu Tama. Dia memejamkan mata dan hanya melihat bayangan hitam. Tak ada bayangan lain yang sempat melintas. Ini jauh lebih baik, pikir Ferina.

“Fer, lo yakin baik-baik aja? Sejujurnya gue khawatir.”

“Belum pernah sebaik ini.” Gumam Ferina sambil mengangkat wajah dan tersenyum.

Tama hanya membalas dengan senyum samar. Tama belum yakin. Hari itu Ferina lebih pendiam dan sangat tertutup. Dia meminta Tama mengajaknya ke pantai. Sekedar untuk menenangkan pikiran, katanya.

Alasan itu sangat ringan, namun Ferina tidak memberi Tama kesempatan untuk bertanya. Cukup dengan sorot matanya yang tajam, Tama mengerti cewek itu meminta untuk membiarkannya seperti yang dia mau. Yah, seperti yang dia mau.

“Apakah semua ini ada hubungannya dengan masa lalu?” tanya Tama ragu.

Akhirnya dia nggak tahan dan memutuskan untuk bertanya. Mungkin nggak ada salahnya mencoba.

“Masa lalu? Ya, masa lalu kadang memang suka mengikuti walaupun kita ingin lepas darinya” jawab Ferina.

“Nggak perlu khawatir, gue baik-baik aja kok.”

Keheningan kembali mengisi kebersamaan mereka.

“Oh ya, kabar Tiffany gimana?” Ferina mengalihkan pembicaraan.

“Masih kayak dulu. Cuma sedikit lebih tenang dan tidak lagi menjengkelkan.”

“Baguslah. Sikapnya ke elo gimana?”

Tama diam sejenak, seakan menjawab pertanyaan Ferina adalah pilihan yang sulit.

“Seperti biasa?” ujar Ferina.

“Nggak” sahut Tama singkat.

Ferina jadi penasaran. Dia memutar arah duduknya sehingga menghadap cowok itu.

“Terus kayak apa?”

“Kayak teman biasa.”

“Teman biasa kayak apa?”

Tama sama sekali nggak menyangka Ferina tiba-tiba akan membahas hal semacam ini. Dan dia nggak bisa menjelaskannya. Tiffany masih bersikap seperti biasa, sama seperti Ferina belum hadir di antara mereka. Tama sudah menunjukkan penolakan agar mereka sedikit menjaga jarak. Kini dia nggak bisa memberikan seluruh waktunya kepada Tiffany, sebab sekarang dia dan segala yang ada pada dirinya adalah untuk Ferina, satu-satunya cewek yang disayanginya. Tapi Tiffany terlihat tidak setuju dan nggak peduli.

“Berteman seperti layaknya berteman.”

“Nggak sesederhana itu.” Bisik Ferina datar.

“Sedikit banyak gue kenal Tiffany. Nggak akan sesederhana itu, ya kan?”

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang