BAB 29

138 2 1
                                    

“Fer, ke kantin yuk” ajak Tiara yang sedang mencoret-coret buku matematika.

“Nggak deh, lo duluan aja. Gue nunggu Tama.”

“Tapi biasanya dia nggak selama ini. Mungkin ada yang harus dia kerjakan kali, jadi nggak bisa ngajak lo ke kantin.”

“Nggak mungkin. Kalaupun benar begitu, dia pasti menyempatkan diri ngasih tahu gue. Biasanya kan begitu” sahut Ferina malas-malasan.

“Ya sudah, kami duluan, ya” kata Tiara dan Haikal serentak.

Benar juga kata Tiara. Biasanya nggak pernah selama ini.

Ferina akhirnya menutup bukunya dan memutuskan untuk mencari tahu. Dia keluarbkelas dan mengarahkan langkah ke bangunan kelas tiga. Dia membujuk perasaannya agar tetap tenang. Dia sedang nggak kepingin menduga-duga yang tidak-tidak dulu. Dia lelah dengan semua yang dipikirkannya akhir-akhir ini.

Langkah Ferina terhenti ketika melihat kedua sosok itu berbicara di bawah pohon mahoni besar di samping aula. Tempat itu sepi.

Ferina menahan emosinya, lalu menghampiri pohon terdekat dan memastikan gerakannya tidak memancing perhatian. Dia bersembunyi di balik pohon.

Dari situ mereka terlihat jelas dan dia bisa mendengar sayup-sayup percakapan mereka.

“Fan, gue sekarang harus menemui Ferina!” kata Tama tegas.

Ferina mendengar bunyi daun berkeresak, tanda Tama mulai melangkah meninggalkan Tiffany. Namun cewek itu segera menahannya.

“Lo banyak berubah” ujar Tiffany kecewa.

“Karena memang begitulah seharusnya.” Tama membela diri.

“Tapi nggak sampai begini.” Ujar Tiffany tertahan.

“Gue kehilangan lo, gue kesepian. Dan mungkinkah dugaan gue benar? Bahwa lo dekat sama gue hanya karena kasihan? Karena gue berasal dari keluarga broken home, dan harus tinggal sendiri karena mama gue nyaris OD?! Begitu, kan?”

“Fan…” Tama melunak dan mendadak merasa bersalah.

Dia menyentuh bahu Tiffany dengan lembut untuk menenangkannya.

“Jadi benar, kan? Setelah keluarga gue rujuk lagi, lo merasa tugas lo selesai, tanggung jawab lo lepas, beban lo lenyap. Begitu?”

“Bukan, bukan seperti itu.” Tama berusaha meyakinkan Tiffany.

“Hanya saja sekarang gue… gue punya seseorang yang lebih membutuhkan kehadiran gue.”

“Nggak!” Tiffany memeluk cowok itu.

Tama terdiam dan nggak melawan.

“Untuk saat ini, gue mohon, lo jangan ninggalin gue. Gue kepingin kita kayak dulu lagi, gue bener-bener nggak bisa jauh dari elo.”

Tiffany melonggarkan pelukannya dan menatap Tama.

“Entahlah…” bisik Tama bimbang.

Dia balas menatap Tiffany sambil menimbang-nimbang jawaban.

“Gue nggak tahu. Tapi… baiklah…”

Ferina nyaris tersedak mendengarnya. Rasanya ini seperti kejadian berulang. Dulu Andra dan Faren. Sekarang Tama dan Tiffany. Tama memilih bersama Tiffany, bukan dirinya. Hati Ferina hancur. Dia memejamkan mata. Betapa perih rasanya.

Dia berbalik dan berlari menuju kelasnya. Tidak, tidak. Kali ini dia tidak boleh menangis. Dia tidak akan menangis. Dia tidak akan pernah menangis lagi. Tidak. Tidak.

***

Bu Hanna mengakhiri kelas sambil mengingatkan ulangan semester tinggal beberapa minggu lagi.

Dan seperti ritual wajib, seuntai ceramah pendek tentang pentingnya mengulang pelajaran dari awal sebaiknya dilakukan dan mereka seharusnya sadar sebelum diingatkan begitu.

Terdengar keluhan spontan dari mulut siswa-siswi yang sangat mencintai kebebasan itu.

Ferina nggak begitu tanggap dengan ingar-bingar yang mewarnai kelas sore itu.

Sejak tadi matanya nggak lepas-lepas dari jendela. Tama telah menunggunya.

Bu Hanna keluar kelas diikuti para siswa. Ferina ikut melangkah keluar, berpura-pura tidak menyadari Tama telah menunggunya. Dia terus berjalan menunduk sampai Tama mencegat langkahnya.

“Ada apa?” Tanya Ferina dingin.

“Maaf, tadi siang-"

“Gue lagi nggak pengin bahas itu. Gue pengin pulang.” Cetus Ferina datar.

Dia menepi untuk menghindar dari cowok itu.

“Fer...” Tama menahan lengannya, namun Ferina menepisnya.

“Gue antar pulang.”

“Nggak usah.”

“Fer, lo makin aneh aja. Beberapa hari ini lo melarang gue jemput lo. Yah, katanya lo kepingin sendiri. Gue terima karena lo masih bersedia gue antar pulang. Tapi kenapa hari ini lo nggak ngizinin gue antar pulang? Lo sebenarnya kenapa sih, Fer?”

“Ya, gue memang makin aneh. Dan gue saranin sebaiknya mulai sekarang lo jauh-jauh dari orang aneh kayak gue!” tukas Ferina sambil berlalu meninggalkan Tama yang berdiri mematung.

“FER!” teriak Tama putus asa.

Ferina berbalik dan membalas teriakan Tama.

“Ngapain juga lo masih di sini! Tiffany udah nunggu lo dari tadi!”

Tama membeku mendengar ucapan Ferina.

Apakah cewek itu menyaksikan kejadian tadi? Ya Tuhan, kenapa tiba-tiba jadi kacau begini sih?

Belum sempat Tama menjelaskan kejadian di cafe kemarin, sekarang sudah ditambah lagi dengan kejadian tadi siang.

Apa yang harus dia lakukan?

👈 NEXT 👉

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 11, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang