BAB 11

63 2 0
                                    

Ferina nggak banyak bicara. Dia penasaran dengan mobil yang dikendarai Tama ini. Sepertinya kok familier ya.

Honda Jazz hijau metalik. Ferina yakin banget pernah melihat mobil ini. Tapi entah dimana…

“AC-nya nggak hidupkan, Fer? Kayaknya kok dingin banget ya.” Tama memecah kebisuan.

“Apaan sih!” cetus Ferina sebal.

“Eh, nggak jauh dari sini ada bakso super enak lho…” Tama tidak meladeni kejengkelan Ferina.

“Katanya bisa bikin hangat suasana yang dingin gitu deh!” lanjutnya sok polos.

“Bawel banget.” Gumam Ferina sok jaim.

“Tapi beneran enak lho, Fer.” Kata Tama.

Ferina tetap diam.

“Ini dia tempat baksonya.” kata Tama sambil menepikan mobil.

“Kalau pengin coba, kita bisa makan disini dulu.” Dia menawarkan.

“Lo bisa berhenti pura-pura nggak sih?” Ferina berusaha menahan emosi.

“Tujuan awalnya nggak kesini kan?”

“Emang nggak, habis suasananya dingin sih. Kan perlu diangetin dulu.” Ujar Tama.

“Fer.” Ujar Tama sambil menyentuh bahu Ferina.

Refleks Ferina menepis tangan cowok itu kuat-kuat.

“LO APA-APAAN SIH?!” sergah Ferina gusar.

“Fer… lo kenapa sih?” Tama tetap berusaha tenang.

“Fer…” Tama mendesah.

“Lo kenapa? Gue salah, ya? Gue bikin lo marah? Gue bikin lo…”

“IYA! GUE EMANG MARAH, GUE SEDIH, GUE KECEWA, PUAS?!” Ferina berteriak.

Tangisnya pecah. Tama terdiam. Dia tahu cewek itu memendam perasaan terhadapnya.

“Maaf Fer. Gue nggak bermaksud bikin lo marah.” Tama membelai rambut Ferina lembut.

“Lo jangan nangis lagi, ya, kita lanjutin perjalanan. Bentar lagi nyampe kok.”

Ferina mengusap air matanya, kemudian mengangguk.

“Gue juga minta maaf.” Katanya kemudian.

Tama melihat Ferina sudah tenang. Dia pun mengemudi dengan santai. Dia takut cewek di sampingnya akan meninggalkannya.

Ferina menatap langit senja yang mulai memerah dan lampu-lampu jalan yang berpijar.

Ferina tidak melontarkan satu patah kata pun sampai Tama memarkir mobilnya ditanah lapang. Ternyata Ferina tertidur lelap. Ditatapnya cewek itu lamaaa…sekali. Hanya dalam hitungan hari cewek itu telah membuatnya rindu setengah mati.

“Fer… Ferina.” Tama menepuk-nepuk bahu Ferina.

“Ferina…” Tama memanggil lembut.

“Ferinandraaaa.”

Ferina tersentak.

“Hmmmmh…” dia menggeliat dan kembali tertidur.

“Kita udah nyampe, Fer.” Tama membelai rambut Ferina.

“Ngg…? Nyampe? Nyampe mana?” Ferina berusaha duduk tegak.

“Kita udah nyampe Parangtritis lagi nih!” kata Tama sambil mengambil jaket di jok belakang, jaket yang dulu diberikan Ferina untuknya.

Kemudian dia menyodorkan tas kertas kepangkuan Ferina. Mereka sudah tiba dipantai yang pernah didatanginya sebelumnya bersama Tama.

“Ini apa?” Tanya Ferina sambil membuka kantong kertas itu.

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang