Setelah beberapa lama tak sadarkan diri, Andra mulai menggeliat lemah namun matanya masih terpejam. Kepala dan lengannya sudah diperban.
Yanda sangat menyesal melihat hasil perbuatannya, akibat dari amarahnya yang tak terkendali. Yanda lantas menghubungi orangtua Andra serta mengakui kesalahannya.
Selama itu Yanda merasa resah dan berharap Andra segera pulih. Tiba-tiba Yanda dikejutkan bunyi ponselnya. FERINA...
“Fer…”
“Gimana Andra?”
“Belum sadar. Tapi gue akan bertanggung jawab kok. Gue jamin dia akan baik-baik aja.” Yanda berusaha meyakinkan.
“Jaga dia ya.”
Yanda terdiam sesaat mendengar ucapan Ferina. Kata-kata yang singkat itu menyimpan perasaan yang sangat dalam. Sarat kesedihan dan kerinduan. Mungkinkah…
“Fer, gue boleh nanya sesuatu?”
“Mmmm…?”
“Lo… masih menyimpan perasaan ya sama dia?”
Kini giliran Ferina yang terdiam. Dia nggak tahu harus bilang apa. Dia memandangi telunjuknya yang kini diplester. Luka yang seakan memberi pertanda kejadian buruk yang menimpa Andra. Seakan dia dan Andra terhubung oleh sesuatu yang tak diketahuinya.
“Fer, kok diam? Apakah itu berarti…”
“Nggak, sama sekali nggak. Dia pengkhianat. Dia merusak persaudaraan gue dengan Faren. Dia… jahat. Gue cuma nggak pengin lo berantem. Bagaimana pun juga dulu kita bertiga bersahabat. Sekarang lo tinggal berdua sama dia, gue pengin kalian baik-baik aja. Dari awal lo udah janji, apa pun yang gue ceritain nggak akan memengaruhi persahabatan lo dan dia.”
Keheningan kembai merebak sementara Yanda mencerna ucapan Ferina. Tapi baginya nggak semudah itu menepati janji. Dia nggak rela cewek yang di cintainya di sia-siakan sahabatnya sendiri.
“Jaga dia baik-baik. Kabarin gue gimana keadaannya.” bisik Ferina, sebelum mematikan ponsel dan berbaring di sofa sambil memandangi TV dengan tatapan kosong.
Sementara Yanda kembali menatap sahabatnya yang kini terbaring tenang. Andra menggeliat lemah, lalu mendesah. Itulah suara pertama yang keluar dari mulut Andra sejak dia tak sadarkan diri.
“Ndra… lo udah bangun, Ndra?” Yanda mencoba memanggil.
“Hmmm…” Andra mendesah lemah.
Perlahan matanya mulai terbuka, mengerjap beberapa kali. Dia menyentuh kepalanya.
“Ndra, gimana keadaan lo?”
Andra tidak langsung menjawab. Dia memandang ruangan tempatnya berbaring. Dia tidak ingat dimana dia terakhir berada, sampai di lihatnya Yanda sangat cemas.
“Gue di mana?” gumam Andra nggak jelas.
Dia melepaskan selang oksigen dari hidungnya.
“Untuk apa ini?”
“Hei, jangan dilepas. Itu untuk membantu pernapasan lo!” ujar Yanda seraya memasang selang itu lagi.
“Lo di rumah sakit.”
Andra meraba dadanya yang tadi dihantam Yanda.
“Sakit.” Kata sambil meringis.
Suaranya masih serak dan berat.
“Maafin gue, Ndra. Maaf.” Bisik Yanda sambil menyentuh bahu Andra.
“Gue nyesel. Maafin gue, ya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Simple Past Present Love
Teen FictionAndra dan Faren, kembaran Ferina, menyimpan rahasia yang baru diketahui Ferina setelah Faren meninggal. Rahasia itu terangkum dalam diari milik Faren. Sayangnya, tak semua curahan hati Faren dalam diari itu dibaca Ferina, hingga ia membenci kembaran...