BAB 21

39 1 1
                                    

Faren hanya bertahan sebentar. Dia pergi begitu saja tanpa sempat membuka mata, tanpa memberi syarat apa pun.

Sekarang Ferina berdiri dengan tubuh goyah, separuh jiwanya bagaikan ditelan bumi. Dan kini, Ferina hanyalah belahan retak yang mencoba bertahan.

“Ren…” Ferina mengguncang nisan yang belum kokoh itu.

“Faren, kembali…” tangis Ferina kini menjadi-jadi.

“KEMBALIIIII…!!! GUE BILANG KEMBALIIIII…!!!”

Wulan tidak mengatakan apa-apa. Dirangkulnya Ferina dan ditahannya tubuh putrinya yang gemetar hebat.

Ayah Ferina, Peter, memeluk mereka dalam isakan tertahan. Tak ada kata yang dapat mengobati kehilangan yang baru saja mereka alami.

❤❤❤

Selama sebulan Ferina tidak mau tidur di kamarnya. Kamar yang dulu dia tempati bersama Faren. Ferina belum kepingin mengakui bahwa apa yang dialaminya itu nyata.

Dia ingin menganggap dirinya sedang bermimpi. Dan Ferina ingin segera terbangun dari mimpi itu.

Selama di sekolah, seperti biasa Andra dan Yanda selalu bersamanya.

“Fer… ke kantin yuk.” Bujuk Yanda.

“Laper nih…”

“Duluan gih.” Sahut Ferina tanpa menoleh, tangannya sibuk dengan kertas dan pensil.

“Di rumah lo kayak gini juga ya? Kasihan banget mama lo, dia pasti makin sedih liat lo kayak begini.” Ujar Andra seraya merangkul bahu Ferina.

“Kalian nggak ngerti apa yang gue rasakan!” kata-kata itu selalu menjadi senjata pamungkas Ferina untuk membuat kedua sahabatnya terdiam.

“Ya udah. Gue ke kantin kalau gitu. Tunggu disini, ya.” Kata Yanda seraya beranjak meninggalkan mereka.

Kini tinggal Ferina yang sibuk mencorat-coret dan Andra yang memperhatikannya dalam diam.

“Gue juga merasa kehilangan, Fer.” Bisik Andra kemudian.

“Tapi nggak ada yang bisa kita lakukan selain menerimanya.”

Ferina mendengarkan, tapi sama sekali tidak menggubrisnya.

Bagaimana pun yang dirasakannya jauh lebih dalam daripada orang lain. Dia sudah bersama-sama Faren sejak mereka di kandungan, lahir bersama, tumbuh bersama.

Tak seorang pun memiliki ikatan batin yang dimilikinya dengan Faren. Karena Faren adalah sebagian dirinya, bagian yang kini telah hilang.

“Fer, gue mau jadi seseorang yang bisa mengisi hari-hari lo. Di saat lo sedih ataupun senang, gue pengin jadi bagian hari-hari lo. Dan gue akan bikin lo kembali tersenyum. Bikin lo ceria lagi.” Kata Andra tulus.

Pensil di tangan Ferina terlepas dan jatuh ke meja. Ferina menoleh dan menatap cowok itu dengan penuh tanda tanya. Apa maksudnya? Inikah yang telah di nanti-nantikannya selama ini?

“Gue sayang lo, Fer.”

Kalau saja Faren masih ada, mereka pasti akan bersorak kegirangan karena apa yang di nanti-nantikan Ferina jadi kenyataan. Tapi sekarang, pantaskah Ferina bergembira?

“Makasih ya.” Ujar Ferina sambil tersenyum samar, lalu melanjutkan menggambar.

Menorehkan garis-garis yang tak bisa diartikan siapa pun.

➡ VOTE & COMMENT ⬅

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang