BAB 6

55 3 0
                                    

“Huh, mana panas, nggak ada teman lagi. Garing!” Dia ingin menunggu matahari sedikit redup untuk berjalan kaki menuju halte yang lumayan jauh.

“Mau gue antar pulang, Fer?” suara Haikal membuat Ferina tersentak.

“Lho, lo belum pulang?” balas Ferina heran.

“Baru mau nih. Tadi gue lupa balikin buku pepustakaan makanya nggak langsung pulang.”

“Oh…” kata Ferina paham.

“Boleh juga.”

Dalam lima menit Ferina sudah duduk di boncengan Haikal. Tiba-tiba Haikal mengerem motornya dan berbalik arah secepat dia bisa.

“Ada apa sih?” Tanya Ferina.

Haikal sedang membuntuti Honda Jazz hijau metalik. Entah siapa penumpang mobil itu.

Akhirnya mobil itu berhenti di depan kafe yang tidak terlalu ramai. Dengan penasaran Ferina menunggu sampai pintu mobil akhirnya terbuka.

Sialan! Cewek nenek sihir itu lagi! Ferina lagi-lagi panas melihat cowok yang turun dari sisi lain mobil. Tama.

“Mau ngapain?” Tanya Ferina.

Haikal tidak menjawab.

“Lo aneh, tahu nggak?! Ngapain juga lo mengharapkan Tiffany sampai kayak gini? Mending lo nanggepin orang yang justru sangat peduli sama lo!” kata Ferina tegas.

Dia teringat Tiara yang hanya bisa kecewa dengan sikap Haikal yang nggak pernah memedulikannya.

“Memangnya ada gitu yang peduli sama gue?” Tanya Haikal.

“Kal… buka dong mata dan hati lo itu. Cewek di dunia ini nggak cuma Tiffany!”

“Tau kok.” Sahut Haikal. “Langsung pulang?”

“Pulang aja deh.” Jawab Ferina.

❤❤❤

“Benar-benar malam yang indah!” decak Ferina.

“Aku juga suka langit malam! Apalagi kalau ada bulannya, ada bintangnya, pasti indah banget. Ya kan, Kak?” sahut Rana.

Ferina sedang memotong sayuran.

Malam itu Ferina dan mamanya diundang ikut acara barbekyu di halaman belakang rumah tetangganya itu. Acara itu untuk merayakan kenaikan jabatan papa Rana, juga kehamilan Manda. Akhirnya Rana bakal dapet adik.

Malam itu penampilan Ferina super santai, dengan celana pendek dan kaus putih polos yang ringan. Rambutnya yang panjang diikat rapi.

“Ih… aku nggak suka paprika.” Celetuk Rana.

“Hampir semua sayuran aku nggak suka.”

Ferina terkesiap memandang Rana.

“Kakak kenapa?” Tanya Rana cemas.

“Kak?!” ulangnya.

“KAKAAAAKKK!!”

“Eh iya… nggak papa.” Sahut Ferina.

Benaknya bergegas lari ke Faren, saudara kembarnya yang telah meninggalkannya.

Tiba-tiba HP Ferina bergetar. TAMA...

“Halo…” jawab Ferina malas-malasan.

“Fer, lo nggak di rumah?” Tanya Tama.

“Nggak, gue di rumah sebelah. Kenapa?”

“Gue ada di depan rumah lo. Lo keluar, ya? Nggak lama kok.”

“Oke.”

Jantung Ferina berdebar-debar. Ferina mendapati cowok super keren itu berdiri di samping motor.

Tama mendongak dan tersenyum hangat.

“Hei, tumben datang malam-malam begini?” Tanya Ferina.

“Mmm… gue nggak mengganggu kan?”

“Menurut lo?” kata Ferina santai.

Tama tersenyum kecil. “Lagi makan, ya?”

“Kok tahu?” Tanya Ferina heran.

“Nih…” dengan ibu jarinya cowok itu menghapus noda saus di sudut bibir Ferina.

“Makan aja masih kayak anak kecil. Berlepotan.” Ferina tersipu.

“Eh… nggak papa tahu.”

Tama menenagkannya.

“Trus, ada apa?”

“Oh ya, ban motor gue tadi kempis, kalau ke bengkel jauh, paling deket ke rumah lo. Makanya gue kemari. Boleh nggak nitip motor gue untuk malam ini aja?” jelas Tama.

“Oh…” Ferina sedikit kecewa.

“Ngg… boleh, kan?” Tama jadi nggak yakin setelah melihat ekspresi Ferina.

“Oh, nggak papa!”

Cowok itu pun mendorong motornya ke pekarangan rumah Ferina.

“Umm… kayaknya gue balik sekarang aja ya.” Kata Tama.

“Hah? Segitu doang?”

“Oh ya, makasih banget…”

“Bukan itu maksud gue.” Kilah Ferina.

“Mmm… tapi ya udah deh kalau elo memang mau buru-buru pulang.”

Cowok itu terlihat kikuk.

“Bukan begitu, gue nggak mau ganggu acara lo. Itu aja.” Ujarnya serius.

“Mmm… sebenarnya gue mau ngasih surprise ngajak lo keluar, tapi kayaknya gue lagi nggak hoki. Apalagi ternyata lo juga ada acara. Mana udah kemalaman lagi.” jelas Tama.

“Besok-besok gue bikin janji dulu deh biar nggak berantakan” lanjutnya.

“Oh begitu ya. Nggak papa lagi.”

“Maaf ya.”

It’s okay.” Sahut Ferina.

“Oh ya, jaket lo. Gue udah lama pengin balikin, tapi…”

“Eits, nggak usah dilepas. Pakai aja, gue nggak pernah pakai kok. Udah gue bilangkan, kegedean.”

Cowok itu menatap Ferina penuh makna.

“Makasih, ya.” Bisiknya.

VOTE & COMMENT

Simple Past Present LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang