32. Napas

2K 209 78
                                    


Napas Restu terhenti begitu Kukuh muncul di hadapan. Akibat foto mereka yang tersebar di dunia maya, ia hanya bisa memandang lelaki itu dari jauh. Ia sendiri tidak mengerti mengapa selalu tertarik pada lelaki yang telah dicampakkan itu. Sekarang, berada sedekat ini dengan Kukuh, ia gugup luar biasa.

"Kuh, kenalin, ini Aila. Dia keponakanku," kata Restu.

"Halo, Aila." Kukuh balas menyalami mereka berdua. Sesudah itu ia diam saja menunggu Restu menyampaikan maksud.

Restu menelan ludah. Sikap diam itu bisa bermakna banyak. Dari sekian banyak kemungkinan yang sempat dipikirkan, tak satu pun mengenakkan hati.

Ia bertengkar dengan Pramudya tadi pagi karena memo itu. Ia tahu benar Kukuh tidak akan merespon hal-hal semacam itu. Ia yang masih berupaya menjalin hubungan baik dengan Kukuh dan ingin memperbaiki citranya di mata lelaki itu, semakin terjepit saja.

"Res, Aila itu anak dari adik kandung presiden kita. Nggak bakalan mantanmu itu berani menolak."

"Kukuh barangkali tidak menolak, tapi harga diriku hancur, Pram!"

"Kamu berbakti pada keluarga. Kamu berharga banget buatku. Apa itu belum cukup, Res? Kamu juga ingin berharga di mata mantanmu?"

Tangisnya berhenti setelah mendengar kalimat-kalimat itu. Suaminya memang negosiator ulung yang tidak pernah kehabisan kata untuk membuatnya yakin.

"Maaf, memo itu ... Pram ...," kata-katanya terhenti.

"Iya, aku tahu maksudnya," potong Kukuh. Lelaki itu segera memindahkan fokus pada gadis remaja di samping Restu. "Kamu benar berminat ikut audisi?" tanyanya ramah.

Gadis itu mengangguk malu-malu. "Iya, Om."

"Persaingannya ketat banget. Kamu sudah siap? Sudah latihan?"

"Sudah, Om. Papa malah memanggil pelatih vokal khusus," jawab Aila bersemangat.

Restu senang Kukuh menanggapi Aila dengan ramah.

"Di sini semua diperlakukan sama. Kamu siap panas-panasan mengantre di tengah rakyat jelata itu?" tanya Kukuh lagi.

Aila mengangguk. "Siap, Om!"

Kukuh tersenyum lebar yang membuat jantung Restu berdegup kencang. Senyum itu masih semanis dulu.

Kukuh meminta Karina memanggil salah satu panitia audisi. Saat pemuda yang dimaksud datang, ia mempersilakan Aila mengikuti pemuda itu.

"Nah Aila, Bimbim akan membantumu mendaftar," kata Kukuh lagi. Sekali lagi sebuah senyum tersungging indah.

Restu terpana sejenak. Senyum indah dan segala yang ada pada Kukuh dahulu adalah miliknya. Tanpa menyentuh pun, ia masih mengenali kehangatan kulit dan aroma khas lelaki itu. Rasa itu bergulung di dasar hati. Belasan tahun bersama telah mematrikan memori yang melekat dan menyatu dalam bilik-bilik kalbu yang terdalam.

Saat mengetahui Kukuh lumpuh, ia sungguh kehilangan pegangan. Ia ngeri dan nyeri melihat penderitaan itu lalu lari. Ia menyerah pada desakan orang tua, menyerah pada perbedaan tajam yang memisahkan mereka.

Andai aku berani meretas semua, sesal Restu dalam hati.

"Ada lagi?" Pertanyaan Kukuh dan tatapan tanpa emosinya menyentak Restu keluar dari lamunan.

"Oh, tidak ada. Makasih. Aku pamit ya, Kuh."

Kukuh mengangguk. "Karin, tolong antar Restu ke depan. Oh, ya. Pram masih suka mengirim kamu. Tolong sampaikan, aku tidak suka!"

Tak ada yang bisa dilakukan Restu selain mengiyakan dan segera kabur dari tempat itu.

☆☆☆

Beberapa waktu kemudian, Restu masih setia hilir mudik ke kampus. Ia masih senang menatap kubikel kecil tempat Kukuh biasa duduk. Kadang rindunya terpuaskan hanya dengan bertukar senyum dan tatapan sekilas. Bahkan meja kosong pun bisa membuat hatinya bersemangat. Oh, sosok lembut itu semakin menawan dari hari ke hari. Bila dulu ia ngeri melihat kaki layu dan kursi roda itu, kini semua kekurangan itu terlihat biasa saja. Restu merasa dirinya bodoh. Mengapa dulu harus lari, bila ternyata hanya membutuhkan waktu dan sering bertemu untuk menjadi terbiasa dengan kondisi Kukuh yang baru? Penyesalan itu selalu menyakitkan.

"Mbak Restu, mengapa bagian dasar teori ini diubah lagi? Yang kemarin itu sudah benar, tinggal menambah sedikit dari referensi yang saya berikan. Kalau begini, akan bertentangan dengan bagian ini," keluh Bu Zahra dengan wajah tertekuk.

"Saya menemukan referensi ini, Bu. Saya pikir hipotesis H1 masih kurang kuat dasarnya, jadi saya masukkan temuan dari jurnal ini," kilah Restu.

Apa pun itu, ia masih ingin berada di kampus ini. Tak puas rasanya sebelum melihat Kukuh mengayuh kursi roda mendatangi kubikel di seberang sana. Ia tahu benar jadwal Kukuh di kampus ini.

"Ya sudah, kalau mau memakai hasil jurnal ini, Mbak Restu jangan tanggung, sekalian saja diperdalam. Tapi jangan kaget kalau nanti harus merombak habis model penelitian. Ini, saya beri referensi tambahan." Doktor wanita itu kemudian sibuk menulis daftar jurnal yang harus dibaca.

Sambil menunggu Bu Zahra, mata Restu mengerling ke pintu masuk. Benar saja, beberapa detik kemudian, Kukuh meluncur masuk diikuti tiga orang mahasiswa. Mereka berjalan sambil bercakap akrab tanpa menoleh. Kukuh bahkan tidak menyadari ia berada di situ.

Ia masih asyik menikmati sosok Kukuh yang sibuk dengan skripsi mahasiswa saat pintu masuk terbuka kembali, menampakkan sosok seorang perempuan muda. Restu tidak mengindahkan perempuan itu andai ia tidak berjalan dengan anggun dan perlahan ke kubikel Kukuh. Sontak napasnya terhenti. Reaksi lelaki itu sungguh tak terduga.

Kukuh mendongak dengan serta merta. Matanya melebar dan tampak kaget. Sejurus kemudian ia mengayuh kursi roda dengan tergesa untuk menghampiri perempuan itu. Siapakah dia, yang sanggup menghentikan Kukuh dari segala aktivitasnya?

Ia semakin keheranan saat menyaksikan kedua orang itu berada berdekatan tanpa berbicara apa pun, hanya saling tatap dengan intens. Kukuh dengan wajah merah, senyum lebar, dan tatapan tak percaya. Perempuan itu dengan semburat merah jambu dan senyum malu-malu.

"Kamu?" Sayup-sayup, Restu mendengar sapaan yang diucapkan dengan lirih.

Perempuan itu menjawab dengan anggukan kecil beberapa kali. Restu dapat melihat pijar mata yang terang benderang. Entah mengapa hatinya serasa disayat sembilu.

Kukuh terlihat memberi isyarat agar perempuan itu menunggu. Ia sendiri bergegas menemui mahasiswanya dan memberikan beberapa instruksi sebelum pamit, "Saya harus pergi sekarang. Kita ketemu lagi besok."

Kemudian ... keduanya berlalu. Ya, berlalu begitu saja tanpa tahu ia berada di situ. Suara tawa renyah di antara percakapan mesra telah menjadi belati yang menusuk kalbu.

Kukuh menarik daun pintu hingga terbuka lebar dan membiarkan perempuan itu lewat terlebih dulu. Air mata Restu menggenang saat menemukan satu tangan Kukuh menempel pada pinggang belakang perempuan itu untuk membimbingnya keluar.


////////////////

Buat yang nggak sabar menunggu updetan, langsung aja, cuuus ke KBM App atau Karya Karsa.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang