34. Berbaur

1.9K 200 49
                                    

Berbaur dengan lingkungan Next! dan Netz ternyata dapat Yasmina lakukan dengan mudah. Para penghuni base camp itu sudah lama penasaran tentang sosok yang sanggup menggoyang Kukuh dari pertapaannya di Jogja dan membuatnya jatuh cinta. Tentu saja, disertai harapan besar agar sosok baru ini tidak serupa dengan yang lalu. Mereka sudah jemu dengan hubungan Kukuh dan Restu yang tarik ulur tidak menentu. Bahkan kerap kali mereka melihat hubungan itu berat sebelah karena Restu tidak serius. Dengan kondisi fisik Kukuh sekarang, mereka khawatir hal itu terulang lagi.

Ternyata kekhawatiran mereka tidak beralasan. Yasmina segera mencuri hati mereka. Pembawaan gadis itu yang riang dan wajah cantik menjadi daya tarik tersendiri.

"Kalau yang ini nggenah, deh, Mas," bisik Tuti, sang manajer, dengan logat Jawa yang kental. (benar atau beres – Jawa)

Kukuh mengangkat alis. "Yang dulu ora nggenah, gitu?" (tidak beres atau tidak benar)

Tuti mencibir. "Ya kalau nggenah kan nggak nikah sama orang lain to, Mas? Kok ya nggak sadar-sadar dari dulu?"

Kukuh terkekeh. Kata-kata Tuti memang benar adanya.

"Masa harus pakai kursi roda dulu baru sadar, ya, Panjenengan ini!" (sebutan "kamu" untuk orang yang dihormati – Jawa)

Sekali lagi, Tuti benar. Tiga belas tahun membina hubungan dengan Restu ternyata tidak membuatnya menjadi manusia yang lebih baik. Tak terhitung berapa kali ia melanggar norma-norma hanya untuk mempertahankan hubungan mereka.

Tim Humas mereka datang dengan tergopoh. Mereka menayangkan video pemberitaan gosip pertemuan Restu dan Kukuh di kampus dan base camp.

"Genta Bahana lagi, Mas. Coba lihat!"

"Kok bisa di base camp? Waktu itu ada Karin segala lho di situ," ujar Kukuh kesal. "Apa ada orang dalam?"

"Kalau dilihat dari resolusi gambarnya, semua ini diambil dari kamera video kecil. Dari sudut pandangnya, kayaknya di posisi Aila," jawab salah satu tim.

"Sekarang kita semua harus bertanggung jawab untuk menjauhkan Restu dari Mas Kukuh, ya Gaes," kata Tuti yang segera diamini oleh yang hadir di situ.

"Mbak Yas udah tahu hubungan Mas Kukuh dan Mbak Restu dulu sejauh apa?" tanya salah satu dari Tim Humas.

Serta merta mereka menoleh pada Yasmina yang sedang memainkan biola di studio, lalu beralih memandang Kukuh. Lelaki itu hanya menghela napas panjang.

"Lebih baik bicara sejujurnya, Mas," kata Tuti seraya menepuk bahu Kukuh.

Kukuh mengangguk. Tuti benar, ia harus membicarakan perilakunya dulu pada Yasmina. Rasa sesalnya semakin menggunung. Ia tidak pernah berpikir akan bersama dengan perempuan lain selain Restu. Andai tahu akan begini, ia tidak akan melakukan perbuatan nista itu.

☆☆☆

"Yas?" panggil Kukuh perlahan. Ia yakin Yasmina cukup kaget dengan pemberitaan itu. Kekasihnya itu belum terbiasa menghadapi gosip dan tanggapan warganet yang sadis.

Yasmina mendongak dari layar laptop. "Ya?"

"Kamu kaget?" tanya Kukuh, sekali lagi dengan suara pelan.

Yasmina menatap lekat-lekat pada lelaki di depannya. Ia sudah mendengar penjelasan dari Tim Humas tentang serangan hoax itu. Ia masih bisa percaya tentang pertemuan di base camp. Tapi pertemuan di kampus yang begitu alami itu? Ingin sekali ia percaya seratus persen, namun sekeping rasa ragu muncul tanpa terhindarkan. Ia mengangguk perlahan. "Aku terpaksa browsing semua pemberitaan kalian," katanya lirih.

"Kamu percaya semua itu?" tanya Kukuh lagi. Hatinya berdebar menunggu jawaban. Ia agak lega ketika Yasmina menggeleng.

"Aku cuma bisa menyimpulkan kalau hubungan kalian dulu dekat banget," ujarnya lemah.

Cahaya wajah Kukuh meredup. "Yas, aku mau kasih tahu sesuatu sebelum kamu tahu dari orang lain," kata Kukuh sambil menatap dalam-dalam raut Yasmina. Ia kecewa, karena binar mata kekasihnya menghilang. Ia melanjutkan dengan gamang, "Aku dan Restu dulu memang dekat banget. Saking dekatnya, kami membuat kesalahan."

Yasmina terlihat menghela napas.

"Kamu kecewa, Yas?" Pelan, Kukuh bertanya.

Yasmina balas menatap Kukuh dalam-dalam. Ia masih sayang pada lelaki ini, ia tahu pasti. Ia hanya tidak menyangka Kukuh mampu melakukan kesalahan seperti itu. Serta merta peringatan kakeknya terngiang. Inikah yang dikatakan sang kakek sebagai "bukan seorang innocent" itu?

"Kalian sering seperti itu?" tanyanya dengan bibir bergetar.

Kukuh mengembuskan napas sebelum mengangguk.

"Sejak kapan?"

"Sejak aku ingin menikah dan mulai melihat jalan buntu. Mungkin dengan memiliki anak jalan kami lebih mulus. Aku tahu aku salah, tapi niatku hanya dia satu-satunya perempuan yang ingin kunikahi. Kupikir dilakukan sebelum atau sesudah pernikahan akan sama saja. Toh aku juga yang akan bertanggung jawab."

Wajah Yasmina menegang. Jelas terlihat ia tidak setuju.

"Aku salah besar. Itulah barangkali mengapa aku harus mengalami semua ini." Kukuh mengelus kedua pahanya yang kecil. "Aku sudah mendapat hukuman, Yas."

"Restu nggak pernah hamil?"

Kukuh menggeleng dengan sedih. "Beberapa hari sebelum kecelakaan itu, aku baru tahu dia minum pil kontrasepsi. Aku marah sekali. Delapan tahun aku menunggu, ternyata dia dengan sengaja menggagalkan dengan alasan nggak mau menanggung malu."

"Kalau nggak mau punya anak darimu, untuk apa Restu melakukannya?"

Kukuh mengangkat bahu. "Entah. Aku juga tanya begitu, tapi dia bungkam. Kupikir mungkin ... dia menikmati dan menjadi ketagihan?"

Yasmina tidak menampik kemungkinan itu. Kukuh pandai memperlakukan perempuan. Ciumannya lembut, perlahan, dan tidak memaksa, membuatnya hanyut tanpa terasa. Itu baru ciuman. Entah bagaimana dia di ranjang. Hatinya miris. Bagaimana lelaki lembut ini bisa tersesat sejauh itu?

Kukuh menetapkan hati sejenak. Barangkali ini saat yang tepat untuk membicarakan kondisi disfungsinya. Ia mendekat, lalu meraih tangan Yasmina. Tanpa terduga, Yasmina menarik tangan sembari membuang muka sehingga ia mengurungkan niat.

"Aku paham kalau kamu jijik padaku sekarang," bisiknya pilu. "Aku minta maaf, Yas, kamu tahu ini setelah kita pacaran."

Yasmina tertunduk, menghindar dari tatapan Kukuh. Jujur, Kukuh tampak berbeda di matanya kini. "Aku ... nggak tahu harus gimana, Kuh."

Melihat reaksi Yasmina seperti itu, Kukuh menduga gadis itu masih polos seutuhnya. Ia benar-benar merasa bersalah sekarang.

"Nggak pa-pa, aku paham. Menerima kondisiku yang memakai kursi roda saja sudah berat, apalagi harus menerima masa laluku yang gelap." Kukuh meraih tangan Yasmina kembali. Kali ini Yasmina tidak menghindar. "Kalau kamu mengizinkan, denganmu aku ingin melakukan yang benar."

Yasmina melihat kesungguhan itu dalam pijar mata Kukuh. Ia mengangguk.Namun, hubungan mereka tidak akan sama lagi sejak saat itu.


/////////////////

Komen please ....

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang