5a. Makan Siang (1)

6.2K 497 57
                                    




Makan siang kesukaan Kukuh telah disiapkan di meja. Yeni menjenguk lelaki itu di kamarnya.

"Mas, mau makan siang di tempat tidur atau di ruang makan?"

Kukuh tampak berpikir sejenak. "Di ruang makan."

Yeni tersenyum. Perkembangan yang bagus. Biasanya ia hanya mendapat respons seperti, 'Letakkan di situ saja.' atau 'Nanti, masih belum selera.'

"Pusingnya sudah hilang?"

"Sudah."

"Kakinya masih nyeri banget?" Ia sedih. Ia seperti memiliki balita besar.

"Sudah mendingan."

"Saya bantu pindah ke kursi roda ya, Mas. Manual atau elektrik?" tanya Deni.

"Manual."

Deni seketika tersenyum bahagia. "Siap!"

Di ruang makan, Yeni melayaninya dengan sigap. Mereka hanya punya waktu singkat sebelum Kukuh merasa pening lagi. Tapi rupanya Kukuh bisa bertahan lebih lama. Ia menghabiskan makanannya dengan tenang. Dan, satu hal yang membuat Yeni gembira dan penuh harap, Kukuh makan agak banyak!

"Sudah merasa pusing atau masih kuat duduk?" tanya Yeni hati-hati.

Kukuh menggeleng. "Masih kuat."

"Besok Mas Kukuh bersedia ketemu Mbak Yasmina lagi?"

Tak ada reaksi apa pun. Yeni tidak berani bertanya lagi.

Deni menemani Kukuh yang berusaha mengayuh kursi roda menuju kamar. Saat mereka mencapai pintu, tiba-tiba Kukuh berhenti.

"Besok, jam sembilan pagi," ujarnya.

Yeni melesat mendekat. "Ketemu di mana, Mas? Kalau di ruang tamu, nanti bisa pusing karena kelamaan duduk."

"Kalau begitu jangan lama-lama."

"Gimana kalau di kamar saja, biar bisa lebih lama bicara?"

"Di ruang tamu," jawab Kukuh singkat. "Jangan membawa biola, nanti jadi lama."

Yeni menurut. Itu pun sudah sangat bagus. Setahun ini, hanya Yasmina yang diizinkan menemui Kukuh.

☆☆☆

Yasmina datang sesuai waktu yang ditetapkan. Kukuh tampil lebih segar dengan kaos putih dan celana khaki. Kursi roda manual yang ringkas membuat Kukuh terlihat lebih sehat. Kedua tangan Yasmina mulai berkeringat dingin saat mereka duduk berhadapan.

Ia mengambil napas beberapa kali sebelum membeberkan maksud kedatangannya dengan hati-hati. Selama berbicara, ia memperhatikan bahwa lelaki itu hanya menatapnya kosong.

"Bagaimana pendapat Anda, Pak?" tanya Yasmina setelah menyelesaikan orasinya.

Ia hanya mendapat suara desiran angin sebagai jawaban. Lelaki ini senang sekali menanggapi lawan bicara dengan keheningan, gerutunya. Hanya dalam hati tentu saja.

Sungguh sebuah tantangan berat, karena ia paling tidak tahan dengan suasana tenang. Hasratnya berbicara segera bangkit. Lama, ia berlatih mengontrol mulut supaya isi pembicaraannya bisa terarah. Kali ini pun ia berupaya keras mengunci bibir rapat-rapat.

Baiklah, aku juga akan hening sampai kamu buka suara, tekad Yasmina dalam hati.

Ia duduk santun dan tersenyum manis sambil menatap meja di hadapannya. Sesekali ia melirik lelaki itu. Beberapa kali ia mendapati Kukuh juga terpekur menatap meja yang sama. Namun, sesekali mata mereka beradu pandang yang menimbulkan desiran halus di hatinya.

Beberapa menit berlalu dalam kondisi hening dan saling mencuri pandang. Yasmina mulai kehilangan akal. Benar-benar kurang kerjaan. Mengapa ia tidak pulang saja ke Kairo?

"Mbak Yasmina," panggil Kukuh, membuat Yasmina terkaget.

Gadis itu semakin kaget saat mendapati mata yang menatap tajam ke arahnya dengan sorot kejengkelan.

"Saya menghargai kedatangan Mbak." Suara itu dalam dan serak. "Namun, Mbak perlu tahu bahwa sejak dulu saya tidak ingin terjun ke dunia bisnis. Begitu pun sekarang. Apalagi kondisi fisik saya tidak memungkinkan."

Yasmina sudah menduga jawaban itu.

"Pak Kukuh, mohon dipikirkan lagi. Menjual kepemilikan Anda atas Phoenix, sama sekali tidak bijaksana."

Hening, tak ada tanggapan. Yasmina pun melanjutkan, "Dari investigasi kami, Andreans hanya mencari keuntungan sesaat, bukan berkomitmen jangka panjang di negara kita."

Kukuh hanya tersenyum dingin. "Dari mana informasi itu? Andai begitu pun, apa masalahnya? Bukankah penawaran tersebut dilakukan secara terbuka? Saat ini, hanya Andreans yang mengajukan diri."

"Bila investor itu dari luar, maka kepemilikan perusahaan akan berpindah ke luar negeri."

Kukuh mulai menilai situasi. Agaknya perempuan di hadapannya itu hanya diutus untuk mengambil hati. Apa yang ia ucapkan tidak menyentuh akar masalah sama sekali. Hal itu bisa dimengerti, bila mengingat tak satu pun cucu keluarga Adam terlibat dalam bisnis sang kakek.

"Saat ini, sangat jarang perusahaan raksasa yang hanya mengandalkan investor dalam negeri. Grup Adam sendiri contohnya," jawabnya, masih dengan bersabar.

"Kami masih memegang kendali."

Kukuh mulai iba. Gadis ini benar-benar tidak tahu apa-apa. Mengapa Iskandar Adam mengirim cucunya sendiri? Apakah ia berniat mengkader gadis ini sebagai pewaris? Sangat disayangkan, gadis sepolos ini harus dilibatkan dalam persoalan rumit yang bak benang kusut.

"Kalau boleh saya memberi saran, sebaiknya Mbak kembali ke Kairo saja. Situasi di sana lebih bagus," usulnya sungguh-sungguh.

Bagi Yasmina, kalimat itu sama saja menyuruhnya mundur. "Pak, dalam hal ini...."

"Bila Mbak sangat cemas dengan nasib negara, silakan membeli Phoenix," potong Kukuh cepat-cepat.

"Kami tidak punya sumber daya sebesar itu dan itu bukan solusi terbaik pula."

Kukuh menghela napas panjang. Pembicaraan ini membuatnya bosan. Dibiarkannya Yasmina berbicara panjang lebar tanpa berniat menanggapi.


 Dibiarkannya Yasmina berbicara panjang lebar tanpa berniat menanggapi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang