2. Jet Lag

9.6K 724 75
                                    

= Seminggu Sebelumnya =

Jet lag mendera Yasmina saat mengikuti rapat. Perjalanan Kairo-Jakarta telah membuat kepalanya nyeri serasa dibor. Kulitnya yang putih terlihat semakin pucat. Kopi panas dan pemandangan indah dari lantai tertinggi gedung perkantoran milik keluarga tak dapat membuatnya merasa lebih baik. Ia yang sehari-hari banyak bicara, mendadak kehilangan selera berkata-kata. Bukan cuma karena jet lag, melainkan juga karena perkara ajaib yang tengah disodorkan peserta rapat yang lain.

Seraya memijat kedua pelipis, ia berusaha mencermati penuturan para peserta rapat. Pembicaraan dengan ayahnya beberapa waktu lalu tertayang kembali dalam ingatan.

☆☆☆

"Kamu harus pulang, datangi Kakek di Jakarta. Kondisi mereka sedang krisis," titah Ibra Adam, sang ayah, beberapa hari lalu saat menikmati makan siang di rumah mereka di Kairo.

"Urusan di sini gimana, Pa?"

"Serahkan saja pada Jordan dan Efrat."

"Efrat ditarik dari Hanoi, begitukah?"

Lelaki yang dua tahun lagi genap enam puluh tahun itu mengangguk seraya menyuap kuskus beserta daging kambing, menu kesukaannya.

Yasmina mencibir. Sebagai sulung dari empat bersaudara, ia harus menanggung beban terbesar. Apalagi Rosa, adik kembarnya yang sama sekali tidak mirip itu, lebih memilih menekuni seni rupa. "Terus Hanoi dipegang siapa?"

"Rosa!" sahut ayahnya sambil mengerling penuh kemenangan.

"Wow, Papa apakan dia?" selidik Yasmina. Bibir yang bulat penuh dengan dua gigi depan yang besar membuat wajahnya sangat manis.

"Kamu belum tahu? Dia menemukan obyek seni purba di Vietnam, jadi ..."

Kata-kata Ibra terputus karena tawa Yasmina. Namun, Ibra tidak ikut tertawa.

"Kamu juga harus segera move on, Yas. Sekarang sudah tiga tahun," bujuknya lembut.

Senyum Yasmina membeku. Perkataan sang ayah membuka ingatan akan sebuah lubang menganga di hati yang tak kunjung tertutup, masih saja nyeri dan berdarah.

"Dia tidak memilihmu bukan berarti kamu tidak berharga. Dia hanya tidak sadar betapa berharganya kamu," bisik ayahnya.

Yasmina membuang muka. Mata indah yang biasa berpijar cemerlang itu redup seketika. Ia meninggalkan meja untuk menghirup udara semilir dari arah kolam berair mancur di halaman belakang. Tubuhnya yang ramping menjadi siluet indah berlatar pemandangan taman bergaya mediterania.

Ibra menyusul, lalu merangkul anak gadisnya yang jelita itu. Dalam hati ia bersyukur pemuda itu membuat kesalahan. Sejak lama ia mencemaskan nasib Yasmina. Entah mengapa, instingnya sebagai ayah mengendus sesuatu yang tidak beres pada pacar anaknya itu. Semesta masih berbaik hati. Keburukan itu terbongkar pada menit-menit terakhir sebelum pernikahan dilangsungkan.

Yasmina membalikkan badan dan membenamkan wajah pada dada bidang ayahnya. Bahkan setelah tiga tahun, peristiwa itu masih memicu rasa perih. Ia adalah pengantin yang ditinggalkan calon suami saat hendak mengucapkan janji suci. Sang calon suami diseret pergi oleh seorang perempuan hamil yang minta pertanggungjawaban. Tak terbayangkan betapa besar rasa malu dan kehilangan yang harus ia pikul.

"Aku nggak tahu apa aku bisa move on, Pa," rintihnya.

Ibra membelai kepala dan punggung sang putri dengan sayang sambil membiarkannya menghabiskan kesedihan.

"Papa tidak akan mendesakmu untuk menikah. Tenang saja."

Yasmina terkikik di sela air mata yang nyaris runtuh. Ia sudah tahu apa kata-kata Ibra selanjutnya karena telah mendengar nasehat serupa ratusan kali dalam tiga tahun terakhir. "Tapi, umurku akan segera lewat tiga puluh tahun, bukan begitu, Pa?"

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang