30. Rasa Enggan

2.1K 192 39
                                    

Rasa enggan berpisah diungkapkan Kukuh dan Yasmina melalui pelukan erat dan ciuman ringan beberapa kali. Pertemuan lima hari tidak cukup untuk menuntaskan rindu antar benua itu. Andai menuruti keinginan hati, Kukuh akan membawa serta Yasmina ke Jakarta sehingga mereka punya kesempatan bertemu lebih banyak. Ia hanya boleh berpuas hati dengan pertemuan singkat itu. Yasmina lebih baik tetap di Kairo.

Kukuh hanya pulang bersama David dan Beno karena Rosa harus tinggal sementara di Kairo membantu ayahnya. Demi memaksimalkan waktu di Kairo, Kukuh memilih penerbangan yang berangkat dini hari dan akan tiba di Jakarta tengah malam nanti. Dengan diantar Yasmina, rombongan kecil itu tiba di Bandar Udara Internasional Kairo. Gedung bandara yang berbentuk lengkungan futuristik menyambut mereka.

"Yas, aku pulang, ya," pamit Kukuh di depan pintu keberangkatan. tangannya tak henti menggenggam tangan Yasmina, seperti hatinya yang masih belum rela meninggalkan negara tempat kekasihnya tinggal.

Yasmina membungkuk untuk memeluk kekasihnya. "Aku akan kangen kamu terus, Kuh. Coba agak lama sedikit di sini," bisiknya.

"Iya, Yas," sahut Kukuh sambil mengecup pipi bening yang membuatnya bahagia.

"Jangan cuma empat hari. Sebulan, ya?" pinta Yasmina. Ia tidak peduli Rosa dan David melengos karena mual melihat adegan mesra itu.

"Tunggu, ya. Aku akan minta Tuti mengosongkan jadwal biar bisa menjenguk kamu lagi," janji Kukuh. Padahal berbagai acara sudah berderet dalam agendanya. Pasti manajernya, Tuti, akan kerepotan menyisihkan waktu selama tiga puluh hari.

"Ah, ini sungguhan atau cuma janji manis?" goda Yasmina. Ia bisa merasakan mana kata-kata Kukuh yang serius dan mana yang cuma menghibur. "Aku tahu kamu sibuk. Tadi itu cuma bercanda, kok."

Kukuh terkekeh. "Makasih, Yas. Tapi aku serius mau ketemu kamu lagi, kok." Dikecupnya sekali lagi bibir Yasmina sebelum melepaskan gadis itu. "Bye!"

"Bye, Kuh."

Kukuh pun memutar kursi rodanya, lalu meluncur memasuki pintu gerbang. Yasmina mengiringinya dengan senyum dan lambaian. Sebuah janji ia ucapkan dalam hati.

Kalau kamu nggak datang pun, aku akan mencarimu, Kuh.

☆☆☆

Tiba di Jakarta, setelah beristirahat secukupnya, Kukuh segera mengunjungi Next! dan Netz. Rapat di base camp sore itu berlangsung muram. Gun, Dedi, Hogan, David, dan pihak manajemen tercenung mendengarkan penuturan Kukuh. Dalam hati mereka tidak rela kukuh meninggalkan tur. Di sisi lain mereka memahami kondisi Kukuh.

"Kita bisa membuat audisi terbuka untuk memilih vokalis pendamping," kata Kukuh.

"Seperti audisi idol begitu, ya?" Tuti, sang manajer, bersuara. "Kelihatannya bagus."

"Ya. Nama besar Next! pasti menjual," jawab Hogan. "Dan kita bisa memilih vokalis terbaik yang sesuai dengan karakter Next!"

David pergi menjauh untuk mengambil minuman.

"Dia syok," bisik Gun dengan isyarat dagu mengarah ke David. "Sepulang dari Kairo, dia bad mood terus."

"Terus terang, aku juga belum bisa memahami keputusanmu, Kuh," protes Dedi. "Malas aja nerima orang baru. Lagian, apa salahnya kakimu? Kita bisa angkat kamu ke mana aja, kok."

"Yang jelas, buat banyak orang, kaki dan kursi roda ini nggak enak dilihat," kata Kukuh. Yasmina pengecualian. Ia tersenyum sendiri saat teringat elusan jemari lentik Yasmina di berbagai bagian kursi rodanya. "Dan kalian tahu bagaimana ribetnya membawa aku ke luar kota apalagi dengan pesawat."

"Lho, malah bisa untuk motivasi buat para difabel lain, Kuh." Dedi masih berkeras.

"Kalau untuk itu, aku cukup dengan tampil sesekali, bukan sepanjang tur," jawab Kukuh. "Sejak lumpuh ini, aku nggak segesit dulu. Contoh, dulu buang air besar aku hanya butuh lima menit. Sekarang, aku menghabiskan satu jam, mulai dari memasukkan obat sampai tuntas dan bersih. Banyak hal lain juga yang menjadi lebih lambat."

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang