Meinar menatap suaminya lekat-lekat. Berminggu sudah suasana hati lelaki tua itu buruk. Ia kerap sulit tidur, mengigau, marah-marah karena hal sepele, bahkan merajuk mendiamkan dirinya. Sang suami sudah mirip perempuan menjelang menopause saja.
Hal berbeda ia temukan pagi ini. Lelaki itu duduk santai dengan wajah tenang sambil mengunyah mashed potato.
"Kemarin aku ketemu Petra Arabia," ujar Iskandar ringan sambil tersenyum simpul.
"Kabar baik?" tebak Meinar.
"Ya, sangat baik. Barusan mereka setuju membeli Madava." Sebuah kekehan kecil menyeruak mengisi ruang lengang pagi itu.
"Oh, ya?" Meinar menanggapi biasa saja.
Iskandar semakin antusias. "Siapa sih, orang bodoh yang mau melepas proyek emas begitu?" Sekali lagi tawanya merebak, lebih keras dari yang pertama.
Meinar menatap lelaki yang telah 38 tahun menjadi teman hidupnya itu. Ia semakin percaya pendapat orang bahwa jumlah angka dalam usia tidak berarti apa-apa bila menyangkut kepribadian. Lelaki ini tetap membara bak pemuda tiga puluhan.
"Madava akan menggalang dana IDF untuk perluasan. Pram sedang mengurusnya," kata Iskandar lagi.
Meinar yang semula acuh tak acuh karena tengah menyeruput susu rendah lemak, terdongak. Bukan hanya penggalangan dana IDF penyebabnya. Mendengar nama Pramudya disebut, Meinar bak menggigit cabai rawit tanpa sengaja. Sejak pertama bertemu, lelaki itu memberi kesan menjengkelkan. Pramudya memang ramah, bekerja sangat gesit, dan pergaulannya luas. Namun, sikap arogan dan bicaranya yang 'besar-besar' itu sangat mengganggu. Setelah mempersunting Restu, besar kepala Pramudya semakin menjadi saja.
"Berapa banyak?" tanya Meinar. Mata tua itu sontak menyipit saat mendengar jumlah yang disebutkan sang suami. "Mereka mau kasih dana sebesar itu?"
"Pram sedang mengurusnya," kata Iskandar sambil mengangkat-angkat alis penuh makna.
Meinar mendengkus. "Sayang, kamu seharusnya jangan terus-terusan bermain di lingkaran dalam. Berbahaya!"
Iskandar hanya tersenyum sambil terus mengunyah sarapan. Meinar kesal. Ini salah satu yang ia tidak suka dari Pramudya. Berkat bersekolah di sebuah sekolah elite di Amerika, Pramudya menjalin persahabatan dengan anak-anak dari kalangan elite pula. Dengan mudah ia bisa masuk dalam lingkaran pergaulan pengusaha besar Arab, Singapura, dan entah mana lagi. Sebagai keponakan presiden, dengan mulus ia menjalin pertemanan dengan elite politik di negeri ini. Tak diragukan lagi, Pramudya adalah negosiator ulung yang langka. Itu pula yang memicu kekhawatiran Meinar. Pramudya bisa menyeret suaminya dalam pergaulan yang berbahaya.
"Kalau proyek ini gagal gimana?" Nada khawatir jelas terdengar dalam suara serak Meinar.
Iskandar hanya mengerling sejenak. Meinar banyak berubah. Dahulu ia menyukai ketangguhan perempuan yang siap mendampingi dalam medan perang mana pun ini. Meinar sama membara dengan dirinya. Sayang sekali, bara Meinar meredup sejak menantu satu-satunya, Early, kecelakaan dan lumpuh total karena kerusakan otak parah. Alih-alih membantu melaju, Meinar justru kerap mengeremnya.
"Jangan khawatir. Pendukung proyek ini banyak. Dari sisi teknologi sudah matang. Dari sisi pasar sudah siap. Cuma orang bodoh yang bilang proyek ini tidak punya masa depan."
Iskandar memang santun dan berbicara dengan diplomasi tingkat tinggi bila berhadapan dengan dunia luar. Berbeda saat berdua dengan sang istri, sisi gelap lelaki itu muncul begitu saja, sama seperti kalimatnya baru saja. Entah mengapa, Meinar merasa yang dibicarakan Iskandar adalah Kukuh.
"Sayang, kita tidak muda lagi. Buat apa menantang diri dengan proyek berisiko tinggi?"
"Ini proyek bersejarah, Mei. Kamu sudah tidak suka menjadi bagian dari para pelaku sejarah?"
Meinar hanya mendesah. Sering kali ia hanya bisa memperlambat, bukan menghentikan. "Aku cuma tidak mau menyaksikan tragedi lagi," ucapnya lemah.
Iskandar mengamati istrinya dengan saksama. Ia sudah hafal sikap istrinya itu. "Aku bukan orang sadis, Mei. Bicaramu seperti aku ini pembunuh berdarah dingin."
Meinar diam dengan mata menerawang. Tangan kanannya memijat-mijat bahu dan lengan kiri.
"Kenapa bahumu?" tanya Iskandar.
"Pegel-pegel."
"Sudah check up?"
"Belum."
Iskandar segera mengangkat telepon. "Aku antar check up."
"Katanya mau meeting?"
"Ah, itu bisa diwakili Handy," jawab Iskandar santai. Sejurus kemudian ia membuat jadwal temu dengan dokter pribadi mereka.
Meinar membuka mulut hendak mengatakan sesuatu. Tangan Iskandar memberi isyarat untuk diam. Meinar tersenyum. Iskandar tidak pernah menunda untuk segala hal yang menyangkut kesejahteraannya.
"Ayo istriku tersayang, kita ditunggu Dokter Heru sekarang," ujar Iskandar mesra. Tangannya terulur meminta Meinar menggandengnya.
Meinar tersenyum senang dengan perlakuan itu. Itulah Iskandarnya, bengis di luar sana, manis di dalam sini. Ia berdiri lalu menggandeng lengan suaminya mesra. Ah, ya, singa tua ini masih menggetarkan!
☆☆☆
Program mencari vokalis baru yang dinamakan "Next! Mencari Cinta" mendapat tanggapan gegap gempita. Tidak hanya mencari vokalis untuk Next!, mereka juga akan mencari bakat-bakat unggul untuk grup vokal dan band baru yang akan dikelola oleh Netz. Benar-benar ajang kompetisi besar yang menjanjikan. Ribuan anak muda rela mengantre berjam-jam dalam ular-ularan panjang di berbagai kota besar di Indonesia untuk mengikuti seleksi.
Kukuh menikmati semua kesibukan itu karena dengan itu ia bisa melarikan diri sejenak dari masalah berat yang menghadang. Dengan hilir mudik ke sana ke mari, ia juga lupa dengan masalah alat kebanggaannya. Ia hanya tidak menyangka masalah baru mendatanginya di base camp Next! Netz.
"Mas Kukuh, Mbak Restu menunggu di ruang pertemuan," kata sekretarisnya.
Kukuh mendengkus kesal. Padahal tim humas dan ia sendiri sudah wanti-wanti agar tidak mengizinkan Restu mendekati demi mencegah gosip lebih lanjut.
"Maaf Mas, Mbak Restu membawa memo dari Presiden. Kami tidak berani."
Mata Kukuh melebar seketika. "Memo resmi?"
Karina menggeleng. "Bukan kayaknya. Cuma tulisan tangan yang ada tanda tangan dan nama presiden." Ia menyerahkan secarik kertas.
"Dari mana kamu yakin ini tulisan Presiden, Karin?" protes Kukuh seraya mengamati tulisan yang tertera pada kertas itu.
Ia terpaksa menyerah lagi. Restu tidak akan mundur bila tidak ditanggapi, sama seperti Yasmina. Akan tetapi, ia suka cara Yasmina mendekati. Ia juga rela didekati dan diperjuangkan habis-habisan oleh pemilik bibir merah menggemaskan itu.
"Temani aku," instruksinya pada Karin. Dengan enggan, ia mengayuh kursi roda ke ruang pertemuan.
////////////////
Buat yang penasaran, yuk mampir di Karya Karsa atau KBM.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasmina
RomanceKukuh Arkatama, lajang berkualitas tinggi, pewaris tunggal sebuah grup bisnis besar, terpaksa menggunakan kursi roda seumur hidup setelah tragedi kecelakaan maut yang merenggut sebagian besar anggota keluarganya. Sementara itu, kekasih selama 13 ta...