7b. Dokter (2)

1.2K 70 0
                                    

It isn't easy to close my eyes and recall those painful memories

= Kim Hyun Joong =


Menjelang senja, mendung semakin tebal menggantung di langit. Hari menjadi gelap walau matahari belum tenggelam. Beberapa asisten sedang menunaikan salat magrib. Dengan diam-diam, Kukuh meminta anak Yeni yang masih SMP untuk menemani ke pemakaman yang terletak tak jauh dari situ. Diancamnya anak itu supaya tidak buka mulut. Dengan ketakutan, anak itu menuruti perintah. Begitu sampai, ia menyuruh anak itu pulang.

Ia bergeming sambil menatap kosong pada sepuluh nisan baru yang berderet di sana. Kedua orang tua, kakak yang tengah mengandung anak ketiga, kakak ipar, dua keponakan, dua paman, satu bibi, dan satu sepupu dimakamkan bersamaan akibat peristiwa maut itu. Ia sendiri tidak menghadiri pemakaman mereka karena dalam kondisi kritis di rumah sakit.

Ia selalu menyesali keputusan pergi beriringan itu. Siapa menyangka, kebiasaan keluarga bepergian bersama telah mengantar mereka pada tragedi maut?

Hujan mulai turun tak lama kemudian, bahkan disertai angin kencang. Butiran yang meluncur deras dari angkasa itu terasa tajam saat menerpa kulit sehingga memicu nyeri. Kukuh membiarkannya. Air hujan menyamarkan air mata. Itulah mengapa ia selalu pergi diam-diam ke pemakaman. Ia tidak mau kedapatan menangis. Tidak, sekalipun di depan Yeni yang sudah seperti ibunya sendiri.

Rasa dingin karena guyuran hujan menjalar ke hati. Tubuh rapuh itu menggigil di atas kursi roda. Rasa kesemutan yang hebat, bagai tersetrum listrik, menyerang. Kukuh meringis dengan tangan mencengkeram kedua kaki dan badan setengah menunduk. Ia lupa bahwa udara dingin memperburuk serangan nyeri.

Di balik suasana remang, dua sosok tubuh memperhatikan dengan seksama.

"Apa yang dia lakukan?" bisik Yasmina. Hatinya turut merasakan pilu.

"Kita harus bagaimana, Bu?" tanya Irawan. "Apa tidak bahaya kalau dibiarkan?"

"Berikan jas hujanmu, Wan!"

Anak buahnya itu menurut walaupun segan. Teganya bosnya itu membuatnya basah kuyup, di kuburan, di petang yang sedingin ini!

Yasmina menghampiri Kukuh lalu memayunginya. Tanpa berkata apa-apa ia mengulurkan jas hujan. Sejenak terpikir untuk langsung memasangkan saja jas itu. Namun, teringat indoktrinasi Irawan tempo hari, bahwa ia harus mendapat izin dari pemilik tubuh, ia mengurungkan niat itu.

Kukuh tampak kaget saat menyadari siapa yang datang. Mendadak ia merasa terganggu. Detik berikutnya, ia mengibaskan jas itu sampai jatuh.

"Pak Kukuh bisa sakit," bujuk Yasmina.

Dipungutnya jas itu, diulurkannya lagi. Lagi-lagi Kukuh membuangnya. Yasmina tidak mau menyerah. Jas hujan itu diambil, lalu diserahkan pada Kukuh. Sekali lagi Kukuh melemparnya, kali ini dengan gerakan yang lebih kuat sambil berpaling hendak pergi. Malang, ia lupa bahwa badannya tidak memiliki daya topang. Akibat gerakan menepis dibarengi upaya berputar ke arah berlawanan, keseimbangan Kukuh goyah. Ia pasti terjungkal kalau saja Yasmina tidak melepaskan pegangan pada payung dan dengan gesit menangkap tubuhnya.

Kukuh yang risih karena disentuh, menepis tangan Yasmina tanpa berkata sepatah pun. Yasmina sadar dan menyesal. Ia hanya refleks tadi.

"Maaf," bisiknya di sela guyuran hujan yang membuat keduanya basah kuyup.

Tanpa memedulikan Yasmina, Kukuh memutar kursi roda untuk menjauh secepat mungkin. Benda elekrik berbobot seratus kilo itu terseok saat melibas jalan berpaving. Blok-blok pengeras jalan itu memang musuh kursi roda. Beberapa kali roda depannya tersangkut dan ia tertahan. Kukuh menggeram kesal. Rasa menyegat di kedua tungkai yang semakin parah membuat napasnya tersengal.

Tak perlu waktu lama sebelum kepalanya menjadi ringan. Dunia sekeliling bergoyang seperti sedang berada di atas kapal. Perut bergolak, menumpahkan segala isinya.

Yasmina tidak memedulikan indoktrinasi Irawan lagi. Tangannya terulur meraih leher dan bahu Kukuh. Irawan berlari-lari datang membawa payung tambahan. Dalam naungan payung itu, Yasmina memijat leher, kepala, dan bahu Kukuh untuk membuatnya lebih nyaman. Jemarinya langsung merasakan keberadaan tulang-tulang. Ke mana perginya daging dan lemak lelaki ini?

Isi perut Kukuh rupanya tidak banyak. Sebentar kemudian, hanya air yang keluar. Kepalanya sangat pening dan pandangannya berputar setiap ia membuka mata. Ingin rasanya merebahkan tubuh di sembarang tempat, sekadar meletakkan kepala dan meringkukkan badan agar bisa melewati nyeri itu dengan lebih nyaman. Tapi ia berada di tengah pekuburan, sedangkan pohon terdekat tidak bisa diakses dengan kursi roda. Begitu pula tembok pagar, masih nun jauh di sana.

"Wan, tolong hubungi Bu Yeni," pinta Yasmina yang langsung dikerjakan oleh bawahannya itu.

"Sudah di jalan," lapor Irawan.

"Masih tahan, Pak? Kita ke mobil saya dulu, ya?" tanya Yasmina sambil menengok wajah lelaki yang tertunduk itu. Ia baru sadar bahwa Kukuh tidak sanggup menjawab. Tubuhnya gemetar menahan dingin, nyeri, dan mual. Entah apa yang menggerakkan, tangannya meraih bahu dan kepala Kukuh lalu menyandarkannya ke perut. Ia terus mendekap lelaki itu sampai Bu Yeni datang beserta Beno.

Kukuh merasakan kepalanya tersandar ke sesuatu yang empuk. Mula-mula ia hendak menolak. Namun, ia sungguh ingin bersandar sehingga ia membiarkan Yasmina merengkuh bahu dan kepalanya. Otot-ototnya melemas manakala jemari Yasmina menyusup di antara helai-helai rambut, menghantarkan rasa hangat ke hati. Ia terbawa ke suatu masa di mana semua serba indah dan benderang. Dulu sekali, ada tangan dan tubuh lembut yang siap membenamkannya dalam kehangatan kapan pun ia inginkan. Ia rindu ....

Sesaat kemudian, terdengar orang-orang berdatangan. Tanpa membuka mata pun, Kukuh tahu itu Bu Yeni. Tangan Yasmina terasa mengendur. Ia melepaskan diri dari rengkuhan seraya mencoba membuka mata. Ternyata, dunia kembali berputar sehingga ia muntah-muntah lagi, walau yang keluar hanyalah beberapa serat lendir. Sudah habis isi perutnya terkuras.

"Vertigonya[1] kambuh lagi," terdengar Yeni menjelaskan kepada Yasmina.

Tanpa dikomando, sepasang tangan lain merengkuh tubuhnya. Belum sempat ia cegah, lengan-lengan kekar itu bergerak cepat mengangkatnya dari kursi roda. Beno menggendongnya di depan semua orang! Semakin tampak jelas tubuh yang rapuh dan tungkai yang terjuntai layu.

Bukan salah Beno. Dia selalu melakukan itu saat memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain. Tak mengapa, bila hanya disaksikan orang rumah. Akan tetapi, sangat menyiksa bila dilakukan di hadapan orang lain. Tubuhnya itu telah mengkhianati harga diri dan kehormatannya!

________________

[1] Vertigo = Sakit kepala hebat yang terasa berputar atau bergoyang. Biasanya disertai mual dan muntah.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang