24. Menahan Perasaan (2)

2.2K 233 55
                                    

Kukuh menerima dan membukanya dengan berdebar. Kapsul waktu itu tidak sepenuhnya kedap. Beberapa isinya tampak rusak. Di dalam kotak terdapat miniatur tokoh Donald Bebek dan Scooby Doo kesukaannya. Puisi yang ditulis Sukma masih bisa terbaca walau sudah bernoda di sana sini. Memegang benda-benda itu, hatinya menghangat.

"Cepat sekali kalian tumbuh. Tahu-tahu kamu sudah 35 tahun," ujar Meinar lirih. "Tante masih merasa kamu anak kecil berusia empat tahun."

"Iya, Tante. Saya ... saya kangen masa itu ...."

Tanpa disadari, mata Kukuh membasah. Ia tidak sedih, pun tidak mengingat kehilangan, melainkan terharu pernah memiliki masa-masa indah itu. Ia rindu.

Meinar mendekat, lalu merengkuh Kukuh dalam pelukan. Lelaki itu tersedu.

"Saya kangen, Tante, saya kangen ...."

Meinar mempererat pelukan. Lelaki ini tetaplah lelaki kecil, anak asuhnya.

"Saya ... saya ...." Kukuh terbata.

"Sshhh! Tante tahu. Jangan ditahan, menangislah."

Meinar mengerti. Ia tahu perjalanan Gunawan yang mengantarnya pada maut. Ia tahu masalah pelik yang harus dihadapi Kukuh. Tiba-tiba hidup dengan kursi roda saja sudah sulit, masih harus menanggung beban itu.

"Tante selalu menganggapmu anak sendiri, Kuh. Jangan pernah lupakan itu," bisik Meinar seraya membiarkan Kukuh seperti itu hingga emosinya reda.

"Iya, saya tahu, Tante. Terima kasih." Kukuh merenggangkan diri. Ini kedua kali ia mendapat bahu untuk menumpahkan segala emosi. Hatinya lebih lega kini.

"Kamu boleh datang kapan saja. Bagaimana kondisimu?" tanya Meinar seraya mengelus tungkai Kukuh dengan sayang.

"Seperti ini. Setengah orang, setengah becak." Kukuh berusaha bergurau untuk menghalau rasa haru. "Saya sudah ikhlas menerimanya, Tante. Saya tahu, hidup saya tidak akan sama lagi. Tapi seberat apa pun, saya akan menjalaninya."

Meinar mengangguk, turut senang dengan keteguhan Kukuh.

"Oh, ya, kamar kalian juga masih ada. Yuk, ke sana!" ajak Meinar.

Kukuh kembali mengayuh kursi roda, membuntuti Meinar ke bangunan utama. Kamar besar itu terlihat di sudut ruang.

"Kamar ini sekarang ditempati Yasmina dan Rosa," kata Meinar sembari mempersilakan Kukuh masuk. Aroma parfum perempuan segera tercium, mengingatkan Kukuh pada kekasihnya. Wajahnya memerah saat teringat pembicaraan mereka beberapa hari yang lalu.

"Kamu masih kontak dengan Yasmina, Kuh?" tanya Meinar dengan hati-hati.

Kukuh mengangguk. Boleh dibilang kami pacaran sekarang. Tentu saja, ia hanya mengucapkannya di dalam hati karena terlalu malu pada Meinar. Namun, mata Meinar yang telah terasah oleh pengalaman hidup mampu mendeteksi perubahan suasana hatinya.

"Aha, wajahmu itu! Kamu jatuh cinta, Kuh?" seru Meinar.

Kukuh tersenyum lebar dan mengangguk kecil.

Binar cinta itu membuat hati Meinar hangat. "Jaga dia, ya. Dia cucu kesayangan Tante," ujarnya seraya menepuk bahu Kukuh.

"Saya pasti menjaganya, Tante."

Meinar memeluk Kukuh sekali lagi. "Akhirnya kamu menemukan gadis yang baik."

Mereka berdiam diri sejenak di kamar itu, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Seringkali, tragedi menyimpan keindahan yang jauh lebih berarti.

Ketika Kukuh dan Meinar kembali ke meja mereka, Pramudya dan Restu sudah tidak di sana. Iskandar telah melakukan sesuatu untuk membuat pasangan itu berpindah meja. Tempat mereka sekarang diisi oleh Prof. Adinegara dan istri.

Sepanjang sisa malam itu, pembicaraan mereka diwarnai tukar pendapat tentang energi murah dan ramah lingkungan. Iskandar tampak puas melihat Kukuh antusias menanggapi Prof. Adi.

Saat acara berakhir dan Kukuh akan pulang, ia berbisik padanya, "Om masih berharap kamu mau memimpin Madava bersama Yasmina."

Kukuh hanya tersenyum.


////////////////

////////////////

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang