26. Albatros

2.1K 218 74
                                    

Sepulang dari kampus, di dalam mobil yang membawanya menembus kepadatan lalu lintas Jakarta, Kukuh masih mengingat kejadian tadi. Jatuh selalu menyentak kesadaran bahwa separuh tubuhnya sudah berubah. Kerusakan saraf tulang belakang telah membuat bagian dada ke bawah tidak berfungsi lagi. Acapkali, ia merasa tak berguna. Tak jarang pula ia marah pada segala hal. Nasib, hidup yang menyedihkan, bahkan kesal pada semua orang yang dijumpai.

Kukuh mengelus kedua pahanya. Sudah ribuan kali gerakan itu ia lakukan. Kadang disertai harapan bahwa kakinya akan bisa merasa. Namun, selalu sama hasilnya. Kedua tungkai itu seperti benda mati, tidak bisa merasakan gerakan tangan. Ia seperti mengelus kaki orang lain saja.

Kukuh mendesah keras tanpa sadar. Hariman yang tengah menyetir melirik dari kaca spion.

"Ada masalah, Mas?" tanyanya.

Kukuh tersentak dari lamunan. "Ah, iya."

"Ada yang bisa saya bantu?"

"Ah, enggak. Cuma masalah orang lumpuh biasa."

Hariman tidak berani bercakap lagi. Ia hafal betul, bila mulai mengasihani diri begitu, Kukuh tengah terganggu suasana hatinya. Hanya dengan dibiarkan diam, lelaki itu akan pulih dengan sendirinya.

Mobil mereka singgah di sebuah rumah yang merupakan kediaman orang tua Kukuh semasa hidup. Saat malam datang, mereka berganti mobil, lalu keluar melalui rumah kecil yang terletak di belakang rumah utama.

"Ke tempat biasa, Mas?" tanya Mulyono, sopir sif malam Kukuh.

"Iya."

Perjalanan rahasia itu berlangsung lancar karena hari telah larut. Setelah berputar-putar sekitar satu jam, mereka menuju sebuah rumah yang halamannya tertutup pagar tinggi. Di tempat itulah aktivitas para Albatros dikoordinasikan.

Begitu sampai, Kukuh disambut oleh Andre dan Nasrun. Wajah mereka kusut dan terlihat kurang tidur. Kukuh terkadang merasa kasihan. Kalau bukan karena dedikasi dan rasa hormat kepada mendiang ayahnya, kedua pemuda itu tidak akan berada di tempat ini. Kukuh harus mengakui bawah pengaruh Andoyo Gunawan sangat membekas di hati orang-orang tertentu. Ia bahkan menemukan kelompok-kelompok yang melanjutkan perjuangan sang ayah secara diam-diam hingga hari ini.

"Mas, ini perkembangan Albatros." Andre melapor sambil menunjukkan sesuatu di layar monitor.

Mereka baru sebulan menempati rumah di sebuah kompleks perumahan yang lengang di daerah Tangerang. Tempat itu terletak di ujung jalan, berbatasan dengan sungai dan hutan kota. Tidak banyak yang melintas di depannya, sehingga ideal untuk melakukan aktivitas mereka. Sebelumnya, mereka berpindah-pindah setiap enam bulan sekali demi menjaga kerahasiaan.

Kukuh mengamati jalur-jalur yang digambar di sana. Ia menambahkan beberapa jalur lagi. Andre dan Nasrun terbelalak melihat jalur baru itu.

"Yang bener, Mas? Kita akan jalan di dua jalur, dalam dan luar," ucap Andre, lirih dan penuh keraguan.

Kukuh cuma tersenyum penuh arti. "Bukan dua, tapi tiga." Telunjuk Kukuh merujuk sebuah

Andre dan Nasrun kembali terbelalak.

"Ya, Lord!" Andre meremas rambut sambil mondar-mandir dengan gelisah.

Nasrun duduk tegang di kursinya dengan kedua alis tertaut. "Gimana bisa nembus ke sana?"

"Ada caranya! Orangmu gimana?" tanya Kukuh.

"Clear! Data kita sudah lumayan lengkap," sahut Nasrun.

Kukuh mengangguk mantap untuk meyakinkan kedua rekannya. "Kalau begitu, nggak ada yang perlu dicemaskan."

"Kita bergerak atau menunggu?" tanya Andre.

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang