44. Kamu Ikut!

1.5K 160 34
                                    


"Kamu ikut Papa pulang," titah Ibra begitu acara lamaran selesai. Wajahnya jelas menunjukkan kegusaran. Selain kesal pada Iskandar, ia pun kesal pada Yasmina yang terus-menerus meminta izin untuk bergabung dengan Madava.

Yasmina tersenyum menanggapi lelaki karismatik yang dicintainya itu. "Kenapa, Pa? Karena Kukuh?"

Ibra tampak berpikir sejenak. Ia teringat obrolannya bersama Kukuh semalam. "Setelah Papa pikir-pikir, anak itu hebat."

"Dia lumpuh dan ke mana-mana memakai kursi roda lho, Pa," goda Yasmina.

Ibra, yang sekeras dan semembara Iskandar, hanya tertawa. "Kalau seleramu seperti itu, Papa bisa apa?"

Yasmina berdecak dan manyun, namun hatinya girang. "Jadi Papa setuju?"

"Papa senang dia bisa membuatmu bahagia seperti ini," ujar Ibra sambil merengkuh bahu putrinya. Yasmina bisa jatuh cinta lagi saja ia sudah senang. Apalagi pilihannya kali ini pemuda yang baik dan setia, didikan Andoyo Gunawan, seorang yang ia hormati sejak dulu. Bercakap cukup lama dengan Kukuh semalam membuatnya jatuh hati pada lelaki itu.

"Tapi," kata Ibra dengan sedikit keras. Matanya kini menatap tajam. "Soal Madava, Papa tidak mau tawar-menawar. Kamu paham?"

Yasmina berkerut kening. "Atas alasan?"

Ibra ikut berkerut kening. "Papa sedang menyelidikinya. Sabarlah sedikit. Kalau mau terjun, tunggu aba-aba dari Papa. Bisa kan, kamu menunggu?"

"Papa sudah kompakan dengan Kukuh? Persis sekali kata-kata Papa dengan miliknya."

"Papa hanya memintamu menunda, bukan melarang!" Kata-katanya tegas sekali.

Yasmina mengembuskan napas. Kalau sang ayah sudah bertitah, artinya ia harus menurut. Tidak ada orang yang ia percaya selain ayahnya. "Baik, Pa. Kalau dipikir-pikir, aku juga sibuk banget dengan disertasi."

☆☆☆

Tentu saja Iskandar murka. Susah payah ia membujuk Yasmina, ternyata dipatahkan begitu saja oleh Ibra. Saat sarapan bersama pagi itu, mukanya merah padam menahan amarah. Ibra dan keempat anaknya hanya diam sambil melanjutkan makan. Begitu pula Meinar. Ruang makan besar, dengan pemandangan taman yang indah, dilengkapi kicauan burung-burung koleksi dari rumah burung tidak sanggup menutup suasana seram akibat kemarahan sang kakek.

"Kami pulang besok, Pa," kata Ibra, masih berusaha santun.

Di seberangnya, Efrat, Jordan, dan Rosa saling lirik dengan senyum terkulum. Hanya Yasmina yang tidak dapat tersenyum karena dialah sumber pertengkaran sang ayah dan sang kakek.

"Kamu juga mau pulang?" tanya Iskandar setengah menghardik pada Yasmina.

Yasmina menelan ludah. "Iya, Kek. Aku harus ketemu dosen pembimbing minggu depan sebelum melanjutkan menulis."

"Data-datamu sudah lengkap apa?" Gusar sekali suara Iskandar.

"Tinggal tiga responden lagi. Seminggu lagi selesai."

"Jadi kamu tidak pulang besok?"

"Minggu depan, Kek."

Entah mengapa, wajah Iskandar mengendur mendengar keterangan itu. Ia mengangguk-angguk kecil, lalu melanjutkan makan dengan tenang.

Meinar memandang bergantian antara suami dan anak tirinya. Betapa berbeda mereka secara fisik. Iskandar berkulit putih dan berperawakan kecil, yang diturunkannya kepada Yasmina. Garis wajahnya lembut seperti aktor-aktor Korea. Ibra tinggi besar dan berwajah tegas yang didapatnya dari mendiang Lisanti, sang ibu. Rupanya hanya fisik saja yang mirip dengan sang ibu. Kepribadian Ibra bak duplikat Iskandar. Keduanya sama-sama keras kepala, namun sangat peduli pada keluarga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 days ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang