Senyum manis Yasmina terulas saat membuka pintu untuk Kukuh. Hatinya masih kecewa karena pengakuan lelaki itu semalam. Namun, memandang wajah tampan dengan sorot mata lembut yang tengah tersenyum itu, rasa rindu lebih berkuasa. "Ayo masuk!"
"Kamu baik-baik aja? Semalam ada orang menyerangmu?" Kukuh segera mencecar.
"Ah, cuma copet biasa," jawab Yasmina. Ia agak kaget karena reaksi Kukuh yang menurutnya agak berlebihan, namun bisa memahami kecemasan lelaki itu. Bukankah Kukuh telah kehilangan seluruh anggota keluarganya? Pasti berita penyerangan kecil itu membuatnya panik.
Kening Kukuh berkerut. "Kamu ngapain di kantor sampai malam?"
"Enggak ada. Aku cuma cari data."
"Yas, aku ingatkan, jangan berbuat aneh-aneh!"
Yasmina menelan liur diam-diam. Ia kini ditegur oleh Kukuh pula. Padahal, ia belum bercerita tentang kejadian semalam. Dari mana lelaki ini tahu? Semakin mencurigakan saja. "Aku nggak pa-pa, kok. Kamu tenang aja, ya."
Mulut Kukuh terbuka hendak menyanggah, tapi Yasmina segera mengajaknya ke teras belakang. Tempat itu adalah tempat favoritnya saat kecil dulu. Ada kolam ikan besar dan cantik serta koleksi anggrek Meinar. Agak di kejauhan, mereka memiliki rumah untuk berbagai burung. Taman itu sudah mirip suaka burung mini.
"Kamu suka di sini, Kuh?" tanya Yasmina untuk mengalihkan perhatian kekasihnya. Upaya itu berhasil. Mata lelaki itu melebar dan senyumnya terkembang.
"Aku masih ingat dulu beberapa kali ketemu mamamu di rumah ini. Beliau sedang hamil besar. Ternyata itu kamu dan Rosa," kata Kukuh dengan mata menerawang ke masa lampau. "Aku juga datang saat kalian lahir."
Yasmina terkekeh. "Gimana tampangku dulu?"
Kukuh mengerutkan kening sejenak. "Hmm, aku masih TK waktu itu, sudah lupa detailnya. Yang jelas yang satu kecil, yang satu besar dan gemuk. Kamu yang mana?"
"Aku yang kecil."
Alis Kukuh terangkat. "Oh sampai sekarang juga begitu, ya. Rosa tinggi besar."
Yasmina tersenyum dan mengamini. "Waktu kecil dulu kok nggak pernah ketemu kamu? Padahal dari lahir sampai lulus SD aku di sini. "
"Mulai SD aku pindah ke Jogja karena Papa punya proyek besar di sana dan Mama kuliah S2 lalu S3 di UGM."
"Pantas."
"Kamu aja yang nggak ingat. Aku ingat ketemu kamu, kok. Aku umur delapan, kamu tiga tahun. Aku diajak Mama dan Papa menjenguk kelahiran Efrat dan Jordan."
"Masa?"
"Kamu sedang bandel-bandelnya, cemburu pada adik baru."
Yasmina terkenang masa-masa bahagia itu saat sang ibu masih ada dan sehat walafiat. "Masa aku bandel?"
"Ooo, kamu sengaja minta perhatian banget. Kayak pura-pura jatuh lalu teriak, 'Aku jatuh Mamaaa!', atau sengaja naruh jari di engsel pintu lalu panggil-panggil, 'Mamaaa, aku kejepiiiiit!'. Semacam itu."
Yasmina terbahak. Ia masih kecil ketika itu sehingga ingatan yang tersisa saat ini hanya samar-samar. "Kecil-kecil, aku sudah modus banget, ya?"
"Iya. Tapi biarpun begitu, kamu udah kelihatan cerdas."
Mulut Yasmina kontan mencang-mencong karena dipuji cerdas. Jantung Kukuh mendadak terkena setrum yang membuatnya meloncat-loncat tidak karuan. Ingin rasanya mendaratkan kecupan di bibir itu.
"Ternyata sejarah kita panjang, Yas," kata Kukuh sambil meraih tangan Yasmina dan mengelusnya.
Yasmina mengangguk. Ia kembali menatap lelaki itu dari samping. Lekuk wajah yang tertimpa cahaya lampu itu terlihat indah. Senyum bahagia yang tersungging di sana sama sekali tidak tampak dibuat-buat. Ia tahu benar seperti apa senyum palsu karena pernah dua kali berhubungan dengan lelaki hidung belang. Kalau sudah begini, rasa ragunya terkikis sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yasmina
RomanceKukuh Arkatama, lajang berkualitas tinggi, pewaris tunggal sebuah grup bisnis besar, terpaksa menggunakan kursi roda seumur hidup setelah tragedi kecelakaan maut yang merenggut sebagian besar anggota keluarganya. Sementara itu, kekasih selama 13 ta...