39. Data Baru

1.8K 186 62
                                    

Malam itu, sepulang dari rumah Iskandar, Kukuh menyempatkan diri singgah di tempat tinggal Andre-Nasrun untuk melihat data-data terbaru. Cukup lama mereka di sana sampai rasa lelah mendera. Kukuh pun pulang membawa perasaan gundah. Ia mengunci diri di kamar. Dengan berdebar, ia membuka tas kecil yang digantung di bawah tempat duduk kursi roda. Sebuah bungkusan kecil dikeluarkan. Dari dalam bungkusan itu, ia mengeluarkan sebuah hard disk eksternal mungil yang kemudian disambungkan ke laptop. Ia sudah melihat isinya tadi, tapi masih ingin melihatnya sekali lagi, sendirian.

File-file dari data terbaru itu acak dan berisi berbagai hal. Namun, setelah diatur ulang oleh Andre dan Nasrun, muncullah data-data penting itu. Mereka nyaris tidak bisa bernapas karenanya. Informasi kali ini sungguh membuka cakrawala baru yang mencekam.

Beberapa rencana mereka buat. Ekor buaya harus dipotong segera. Mereka berpacu dengan waktu. Albatros 1 telah siap dengan data pendukung, begitu pula Albatros 2 dan 3. Tinggal bagaimana mengirim data itu ke Albatros 4. Mereka masih mengupayakannya.

Dada Kukuh sesak memandangi data yang terpampang. Napasnya terengah berat menyadari isi file yang beberapa di antaranya berupa rekaman suara. Semuanya merupakan informasi yang ia cari selama lebih dari dua tahun. Bila selama ini ia hanya bisa menduga penyebab kematian sang ayah, kini jelas dan gamblang semua kisah itu terangkai.

Di hadapan Andre dan Nasrun tadi, ia masih bisa menahan emosi. Namun kini, dadanya nyaris meledak. Dalam kegelapan kamar, tangannya terkepal lalu beberapa kali menghajar tembok. Teriakan amukan menyeruak berkali-kali disertai air mata.

Sepuluh anggota keluarganya dibantai tanpa ampun. Di antara korban adalah keponakan yang belum sempat dilahirkan. Total sebelas nyawa melayang sia-sia. Ia pun nyaris kehilangan nyawa, terpaksa menjalani segala keruwetan hidup akibat lumpuh dan menggunakan kursi roda. Bagaimana ia bisa menerima begitu saja?

Selama ini hanya pelaku kelas teri yang tertangkap. Sekarang jelas sekali siapa yang harus ditargetkan. Ia bertekad tidak akan melepaskan satu pun dari mereka kali ini. Tidak satu pun!

Ia tidak peduli. Tekadnya sudah bulat untuk menuntaskan kasus ini apa pun yang terjadi, walau nyawa menjadi taruhannya.

Kukuh berhenti saat menyadari buku-buku jarinya nyeri dan berdarah. Ia mengayuh kursi roda mendekat ke pembaringan. Saat memindahkan tubuh dari kursi roda ke kasur, spasme hebat menyerang. Otot-otot di bagian yang lumpuh dari puting ke bawah, bergetar hebat. Bahkan kedua kakinya berkelojotan tak terkontrol. Barangkali bagian yang lumpuh itu turut merasakan kepedihan sang pemilik tubuh dan bereaksi dengan caranya sendiri.

Keseimbangan Kukuh terganggu. Ia terguling dari kursi roda. Spasme itu terus berlanjut biarpun Kukuh telah tergeletak di lantai. Akibatnya, ia kesulitan untuk bangun. Bersamaan dengan itu, rasa nyeri bagai terbakar dan teriris mendera kembali setelah berbulan mereda. Kukuh benar-benar berada di puncak amarah. Ia marah pada keadaan, marah pada kelumpuhan yang menyusahkan. Disertai teriakan keras, tangan Kukuh menampar-nampar lantai tanpa ampun.

Yeni yang tengah menata buku-buku di ruang perpustakaan mendengar keributan itu. ia segera berlari ke kamar Kukuh dan menggedor pintunya. Segala macam pikiran buruk berkecamuk dalam benaknya.

"Mas, Mas Kukuh! Mas Kukuh kenapa? Tolong buka pintunya?" seru Yeni.

Mendengar teriakan Yeni. Kukuh berhenti mengamuk. Ia mencari kursi rodanya, namun benda itu terpelanting jauh dari jangkauan. Akhirnya dengan susah payah dan sembari didera kelelahan, ia merayap ke nakas dan meraih remote pintu. Begitu terbuka, Yeni menerobos masuk dan menyalakan lampu. Matanya terbelalak saat menemukan Kukuh tergolek di lantai dengan tangan kanan berlumuran darah.

"Mas, kenapa?" tanyanya seraya mengulurkan tangan untuk membantu Kukuh duduk.

"Jatuh," jawab Kukuh singkat. "Spasmenya kambuh."

Yeni tidak bertanya lagi. Ia kenal Kukuh. Bila cuma jatuh, air mata dan tangan berdarah itu apa? Setelah beberapa bulan bahagia karena kehadiran Yasmina, kini apa lagi yang menimpa lelaki malang ini?

Ia membantu Kukuh naik ke kasur dan mendudukkannya bersandar di kepala ranjang. Kedua tungkai Kukuh kembali berkelojotan. Ia menahannya sejenak untuk menghentikan spasme. Rasanya sudah lama sekali Kukuh tidak mengalami spasme parah seperti ini.

Kukuh tampak berkerut dan mendesis menahan sakit.

"Nyerinya kambuh?"

Kukuh mengangguk. "Parah banget! Dari dada sampai kaki seperti diris-iris dan terbakar," desisnya di sela kesakitan.

Yeni segera mengambil obat dan membantu Kukuh meminumnya. Sesudah itu ia memijat bagian tubuh yang kejang. Walau tahu Kukuh tidak dapat merasakannya, dan pijatan itu tidak akan mengurangi rasa nyeri, ia berharap otot-otot itu mengendur dan Kukuh merasa ditemani.

"Saya obati tangannya," katanya kemudian.

Kukuh mengangguk. Dengan diam, ia mengamati Yeni bekerja.

"Aku capek dengan semua ini, Bu Yeni," desah Kukuh setelah beberapa waktu.

Serta merta Yeni mendongak. Pikirannya langsung teringat Yasmina, tapi ia tidak berani bertanya. "Berat banget, Mas?"

Wajah Kukuh menegang. "Aku udah bosan! Bosan banget, Bu Yeniiii!" Napas Kukuh terengah-engah saat mengucapkannya. Agaknya begitu banyak emosi ingin menyembur keluar bersamaan.

"Semua urusan perusahaan, urusan persaingan dan intrik-intrik itu!" Kukuh jeda sejenak untuk mengumpulkan napas. Amarah telah membuat dadanya sesak. "Aku bosan menjadi orang lumpuh! Aku bosan punya badan yang nyusahin ini, Bu Yeniiii!"

Kukuh terdiam kemudian dengan napas memburu dan wajah merah padam.

"Mas ...?" Yeni terperangah. Bertahun mendampingi Kukuh menjalani hidup sebagai penyandang kelumpuhan, baru kali ini ia mendapati semburan emosi lelaki itu. Sederas ini pula.

"Sabar, ya, Mas," bujuk Yeni.

Kukuh berpaling menatap Yeni tajam. "Bu Yeni, kejadian ini jangan sampai ke Yasmina. Ibu mengerti?"

"Iya, Mas. Saya pasti akan merahasiakannya dari Mbak Yas."

Kukuh mendesah lagi. Yeni menjadi iba.

"Mas, di mata saya, Mas Kukuh bukan orang cacat. Saya rasa Mbak Yas juga berpendapat yang sama." Yeni nyerocos saja. Siapa tahu Kukuh bisa terhibur.

Nama Yasmina selalu berhasil mengubah suasana hati Kukuh. Wajahnya melunak. Irama napasnya kembali teratur. Senyum tipis terulas di bibirnya. "Iya, aku tahu. Dia selalu mendukung."

Yeni pun lega. Itu berarti hubungan mereka baik-baik saja. Kalau bukan karena Yasmina, lantas semua kehebohan itu akibat apa? Walau bertanya-tanya, Yeni cukup tahu diri dan memahami. Pada saatnya nanti, Kukuh sendiri akan menjelaskan semua yang terjadi.


////////////////

Mas Kuuuh, selalu Yas yang di hatinya. Beri dukungan emot love2 buat Mas Kuh, yuk

YasminaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang