Sebuah rasa masih tertinggal dari sesap terakhir segelas susu putih.
"Hambar". Bersama dengan aliran di tenggorokan, kata itu lepas begitu saja.
Segelas susu itu habis diminum dengan rasa hambar yang miliknya.
Ya. Hambar memang. Tapi, untuk apa membiarkan kehambaran menaklukkan malam. Untuk apa membiarkan hal yang mengganggu semalaman?
Ah. Percuma. Toh pada akhirnya kehambaran tetap tinggal di lidah dan sulit untuk diusir.
Coklat. Perlahan, rasa susu itu berubah. Namun, manisnya coklat tak mampu mengalahkan rasa susu itu.
Manisnya coklat tak mampu merubah hambarnya kenyataan malam itu.
Segelas susu yang terus diaduk hingga merata, masih saja meninggalkan bongkah-bongkah gula di bawahnya. Pada akhirnya, rasa manis tidak tercecap sedikitpun.
Menyerah dengan semua manis yang ada. Rasa baru coba ditambahkan kepada segelas susu.
Kopi. Pahit memang, setidaknya bisa menghilangkan hambarnya rasa.
Tetap saja itu gagal; Pahitnya kopi tak mampu menghilangkan rasa-rasa yang masih bersemedi di lidah.
Atau, pahitnya kopi tak mampu mengalahkan pahitnya kenyataan malam itu.
Akhirnya, sepasang sepatu berjalan ke meja panjang dengan sebuah mesin pembuat kopi di baliknya.
"Cappucino", sebuah nama yang asing. Setidaknya, racikan dari manisnya coklat dan gula serta pahitnya kopi mampu mengubah malam.
Kembali sepatu itu terhenti dan beristirahat di bawah meja.
Gelas-gelas kosong dengan hambar susu yang tersisa terbuka menghadap langit.
Kelambu gelap malam masih sama; enggan untuk turun dan membiarkan mentari menerpa alam dengan sinar hangatnya.
Begitu juga aku yang enggan untuk berpindah dari sudut kedai susu ini.
Jika kau merindukanku, katakan. Biar itu yang menjadi sebuah rasa yang bisa mengalahkan hambarnya susu dan pahitnya kopi.
Malang, 3 Mei 2017
Untuk engkau yang hangat bagaikan es yang enggan mencair,
DisA
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai bisa
PoetryKarena perasaan mudah untuk tertiup angin dan menghilang, biarkan aku menuliskan dan mengenangnya