Dahulu, aku adalah langit. Memilki dua raja; bulan dan mentari.
Dua raja yang tak pernah bertemu di langit. Ketika bulan terbangun, mentari mulai terjatuh. Terus saja seperti itu.
Hingga suatu hari aku melihat bumi yang dapat memiliki bulan dan mentari bersamaan.
Ingin? Pasti!
Namun, ia hanya memiliki sinarnya. Sedangkan aku, memiliki dua raja itu.
Suatu hari aku menjadi awan yang jatuh dan turun ke bumi menjadi hujan. Seperti bidadari, aku dinanti oleh banyak penghuni bumi.
Menjadi sebuah cairan bening yang hidup, aku terus melangkah dan kembali ke segara.
Di tengah luasnya segara, aku menemukan sebuah simpangan.
Seiring aku yang kembali menjadi langit, aku menentukan satu dari dua jalan.
Aku menjadi langit malam.
Langit malam yang hanya menanti bulan untuk datang dan menemaninya.
Kadang aku kembali berfikir, apakah aku memang langit malam?
Ataukah aku adalah bintang yang dinanti oleh langit malam? Lalu, siapa langit malamku?
Bisa saja, aku hanya sebuah awan yang dapat dimiliki langit -entah malam atau siang-, bintang, bulan, dan pelangi.
Baiklah. Awan akan dipandang lebih baik tanpa mengetahui bahwa awan dapat jatuh kapan saja.
Menjadi hujan, lalu kembali lagi menjadi awan, atau mungkin hanya menggenang di bumi.
Ah. Aku tau.
Mungkin adalah awan yang menjadi hujan dan dinanti bumi.
Mungkin aku adalah langit malam yang memiliki dan menanti bulan.
Atu mungkin juga...
Aku adalah genangan air di bumi yang sehabis jatuh dan hanya bisa memiliki bayang dari rembulan.
Malang, 27 Juli 2017
Kenangan bodoh yang sudah terlanjur
DisA
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai bisa
PoetryKarena perasaan mudah untuk tertiup angin dan menghilang, biarkan aku menuliskan dan mengenangnya