Ketika aku menunggu lembayung senja menyapa. Duduk sambil mendengar ribuan suara bersahutan.
Satu suara yang seharusnya kudengar. Ya. Aku mendengarnya.
Aku bosan.
Menunggu waktu yang berjalan bagai menggeliat. Aku ingin pergi dan terbang. Hah. Ini membosankan.
Mengapa semuanya tak kunjung berakhir? Satu persatu kuntum bunga berjatuhan. Begitu pula kupu-kupu yang bergantian pergi.
Ingin kuambil salah satunya. Kusimpan dan menjadikannya teman dalam hidupku. Namun, rasanya mustahil.
Aku merasa sendirian di sini. Ah tidak. Sebuah benda yang kugenggam berulang kali bercahaya dan memunculkan sederet kata.
Aku rindu saat itu. Sebelum aku tau bahwa seekor kupu kupu juga tersenyum untuk bunga-bunga lain. Saat kau, masih menyita malamku dengan percakapan tanpa suara kita.
Setelah lembayung terhapus, sebuah lukisan gelap mewarnai duniaku.
Hal bodoh apa lagi yang kau lakukan malam ini? Benar-benar bodoh. Iya kan?
Aku menunggu yang tidak pasti dan meninggalkan sesuatu yang bahkan sudah bisa kuceritakan kelanjutannya. Untuk apa?
Tidak perlu kujawab.
Angin malam diam-diam menelisik dalam hatiku. Memaksaku untuk bercerita. Memaksa butiran bening membasahi pipiku. Dan sayangnya hatiku memaksa bibirku untuk tersenyum.
Biarkan aku bercerita pada awan gelap yang menggantung di atas sana. Ini tentang cinta. Tentang serpihan hati yang terbang bersama kupu-kupu. Tentang mimpi yang kubiarkan berjalan tanpa peraduan. Dan tentang kebahagiaan dan senyuman yang butirannya tenggelam bersama deburan ombak di lautan.
Terimakasih telah mengajarkanku hal penting; tak semua penantian berujung pertemuan.
Namun, maaf. Aku kehilangan hal itu lagi
Malang, 9 Januari 2017
-37
DisA
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai bisa
شِعرKarena perasaan mudah untuk tertiup angin dan menghilang, biarkan aku menuliskan dan mengenangnya