Sebuah goresan dinding yang kembali kucoba untuk lihat. Mengupas dan membuka selubung yang menutupnya, membiarkan goresan demi goresan kembali terlihat, seperti dulu.
Aku masih ingat bagaimana ia pertama kali tercipta. Ketika ada sepotong kayu menancap, menggoresnya.
Aku masih ingat bagaimana goresan itu datang. Ketika sebongkah batu menghantam, menghancurkannya.
Aku masih ingat bagaimana coretan berubah menjadi lebih dalam. Menjadikan sebuah dinding tebal tak hanya tergores, ia perlahan robek bagai kertas.
Perlahan, sangat perlahan. Setiap rangkai huruf, setiap pasang kata, setiap baris kalimat, setiap bait dari sebuah kisah; Mereka meninggalkan goresan baru.
Entah gores warna atau kelabu.
Kadang, yang ada di sana tak hanya coretan tak berarti. Bukan hanya gambar tanpa rupa, bukan hanya gores yang terlupa.Kuning, ada di sana. Biru, ada di sana. Putih, ada di sana. Kelabu, ada beribu.
Hitam? Aku tak yakin. Pernah ada hitam di sana, tapi mungkin sekarang, ia sedang berjalan menuju sini lagi. Menggoreskan hitam yang baru. Hitam yang lebih pekat dari sebelumnya.
Dinding yang perlahan goyah, berusaha merusak lelangit yang sudah menjadi kawannya selama ini. Tapi ia tahu, rumah ini akan hancur.
Kita berada di rumah kartu. Meskipun kau telah melihat akhirnya, meskipun kau berkata ini akan jatuh secepatnya.
Rumah kartu dan bodohnya kita. Meskipun kau berkata ini mimpi yang tak berguna, bertahanlah seperti ini. Sebentar saja.
Mungkin tak ada esok, tak ada selanjutnya. Semua yang telah terjadi masih saja gelap.
Katakanlah; ini tak akan bertahan. Aku akan tetap berharap. Jika pada akhirnya kau bersamaku, aku juga tak apa.
Kau tahu, kita tak bisa berhenti. Tidak akan. Terjatuh.
방탄소년단 (BTS), House of Cards
Malang, 15 Juni 2017
DisA
KAMU SEDANG MEMBACA
Andai bisa
PoetryKarena perasaan mudah untuk tertiup angin dan menghilang, biarkan aku menuliskan dan mengenangnya