Diantara hembusan angin yang menerpa, Elora melajukan mobilnya menjauh dari pusat kota. Semakin lama mobilnya melaju, semakin banyak juga pohon-pohon rindang yang berada di pinggir jalanan.
Hari sudah mulai gelap saat mobil Elora terparkir di depan rumah sakit. Mungkin ini kedua kalinya ia datang mengunjungi bundanya yang sedang dirawat.
Masih dengan pakaian yang sama saat bertemu Alden tadi, Elora masuk ke sebuah ruangan dimana bundanya berada.
"Bunda lagi apa?" Tanya Elora pada suster yang sedang menjaga sang bunda.
"Baru aja dia tidur. Bunda kamu terus nanya-nanya pak Denny. Tadi dia mengamuk lagi." Jawab suster.
Elora mengangguk mengerti. Lalu membuka pintu kamar secara perlahan. Disana, sang bunda sedang tertidur pulas diatas kasur. Wajahnya begitu tenang seperti tidak ada mempunyai masalah apapun.
"Bunda." Elora berkata pelan. Tangannya mengenggam tangan bundanya erat-erat. Kepalanya ditelengkupkan di lipatan tangan satunya lagi.
"Bunda cepet sembuh. Elora kesepian di rumah." Satu air mata lolos keluar dari pelupuk matanya. Tapi buru-buru ia mengusapnya karena tidak mau terlihat lemah di depan bundanya.
"Elora juga kangen bunda. Kangen semuanya. Dan bunda tahu? Orang yang waktu itu datang ke rumah namanya Alden. Kata bunda dia ganteng gak? Kalau kata Elora di ganteng. Huehehe."
Mendengar ucapannya yang ngelantur, Elora terkekeh pelan. Tapi masih melanjutkan, "dan bunda tau Mia? Mia temen Elora waktu kecil dulu, ternyata kakak tiri Elora. Dia anak dari papa sama Mama Sinta."
"Dan juga dia mantannya Alden." Nada Elora diakhir kalimat begitu pelan. Hingga mungkin tidak akan ada yang mendengar selain dirinya sendiri.
Sebuah usapan pelan di kepalanya membuat Elora langsung mendongak. Disana, bundanya tersenyum hangat kearahnya, membuat Elora sempat tidak percaya.
"Bunda! Ini bunda kan?" Elora mencubit pipinya lalu meringis pelan. Ini bukan mimpi. Ini nyata!
"E-lo-lora." Bundanya berucap terbata-bata setelah sekian lama tak mendengar suara sang bunda.
"Iya Bun? Elora disini. Di samping bunda. Bunda inget?"
Bundanya -Sheila menatap sekitar dengan bingung. Seperti baru saja bangun dari tidurnya yang sangat panjang.
Elora menatap Sheila lekat. Setelah lama ia menunggu akhirnya terbalaskan. Dalam sorot mata Sheila tidak ada kekosongan lagi disana. Membuat Elora merasa lega.
"Bunda! Ini Elora. Anak bunda."
"Kamu Elora?"
Elora langsung mengangguk cepat. Dengan sigap ia memeluk sang bunda erat. Melampiaskan rasa rindu yang terus merekat dihatinya.
Kali ini rasa sakitnya sedikit terobati. Ia sangat bersyukur Sheila masih mengingatnya. Dan itu sudah cukup baginya.
🍂🍂🍂
"Kondisi psikis ibumu mulai membaik. Kamu harus terus mendukungnya dan menemaninya. Saya percaya dia bisa sembuh." Penjelasan sang dokter barusan membuat hati Elora merasa lega. Kali ini senyumnya terus mengembang. Hari ini adalah hari terbaik yang pernah ada. Rasanya Elora ingin memberhentikan waktu saja.
Elora mengucapkan terima kasih sebelum pamit keluar ruangan. Ia harus memberi tahu Alden hal ini. Ini adalah kabar yang bahagia.
Baru saja Elora ingin menekan tombol hijau pada kontak Alden. Telepon lain masuk. Dan itu dari Fiel sang kakak.
"Halo?"
"Halo, Ra kamu dimana? Aku datang ke rumah kamu tapi kosong gak ada siapa-siapa."
"Aku di rumah sakit. Lagi nemenin bunda."
"Kamu dirumah sakit? Ngapain? Bunda sakit?"
Tiba-tiba Elora meringis kecil. Fiel memang tidak tahu perihal mengenai kondisi sang bunda. Ia lupa memberitahunya.
"Kayaknya kita harus ketemuan deh kak. Gak enak kalau ngasih tau di telepon."
"Ya udah, kita ketemuan di kedai coffe biasa. Aku tunggu jam 8 disana."
"Oke."
🍂🍂🍂
"Bunda sakit apa? Kok kamu gak ngasih tau kakak?" Tanya Fiel begitu mereka duduk berhadapan.
Elora menyesap kopi hitamnya sebelum menjawab, "sebelumnya aku minta maaf kak gak ngasih tau ini ke kakak, aku lupa."
"Jadi?"
"Psikis bunda terganggu setelah tau rahasia itu. Setiap hari dia selalu mecahin barang-barang sampai tangannya terluka. Suatu hari aku nemuin bunda pingsan dikamar, jadi aku bawa ke rumah sakit. Kata dokter keadaannya buruk. Dan akan dipindahkan ke rumah sakit Harapan."
Elora menarik nafasnya. "Elora belum jawab iya, tapi papah dia setuju. Andai aja aku gak pingsan waktu itu, mungkin sekarang bunda lagi sama aku."
Tubuh Fiel menegang begitu mendengar penjelasan Elora. Ia menutup mulutnya.
"Kamu serius?"
Elora mengangguk.
"Kalau gitu, bawa kakak ke tempat bunda sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi
Teen FictionC O M P L E T E Elora pintar menyimpan rahasia dan kesedihannya. Dan Alden pintar menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Keduanya bertemu. Saling memporak-porandakan hati. Ketika satu persatu rahasia Elora terkuak. Rasa yang tak diinginkan itu...