Pergi - 18

2.6K 135 3
                                    

         "Ra!" panggil Alden begitu melihat Elora keluar dari kelas dengan tas di kedua bahunya. Elora yang mendengar teriakan Alden langsung menghentikan jalannya dan menoleh ke arah Alden dengan alis terangkat.

          "Lo pulang bareng gue ya. Materi yang kemarin belum selesai semua," ujar Alden.

          Elora baru saja ingin menjawab saat Mia tiba-tiba datang lalu menggandeng lengan Alden sambil tersenyum penuh arti kearahnya. "Alden, lo lupa? Hari ini lo kan bakal datang ke rumah gue."

          "Tapi-"

          "Papa yang ngajak lo, den."

           Alden menghela napas, lalu menatap Elora tidak enak. "Sorry, Ra. Kayaknya hari ini gue nggak bisa."

           Elora mengangguk mengerti sambil memaksakan senyumannya. Sedangkan Mia, tersenyum puas sambil menarik lengan Alden mesra.

           Elora menatap pemandangan itu sambil tersenyum miris. Ia tahu bahwa sampai kapan pun ia dan Alden tidak akan pernah bisa bersama.

           Elora kembali masuk ke dalam kelas dan menutup pintu saat merasakan cairan hangat mengalir dari dalam hidungnya. Jatuh terduduk di antara rasa sakit hati dan fisiknya.

           Tes.

          Tes.

          Elora menatap darah yang jatuh dari hidungnya itu nanar.

          Gue sayang sama lo, Alden.

🍂🍂🍂

          "Lo gila!"

          "Iya! Gue emang gila! Gila karena lo!"

           "Mia! Gue pikir lo orang yang baik. Tapi ternyata...."

           "Apa? Gue emang baik. Tapi semenjak gue tau kalau lo deket sama Elora. Semuanya berubah. Gue berubah. Begitu juga dengan lo."

           Alden mengacak rambutnya frustrasi, lalu melempar barang yang ada disekitarnya secara sembarang. Mia, perempuan itu sudah menangis tersedu di sudut ruangan sembari memeluk lututnya.

          Ruangan berukuran 3×4 meter itu lenggang sejenak.

          "Apa mau lo Mia?"

          Mia mengangkat wajahnya. "Gue cuman mau lo, Alden. Gue cuman mau lo. Cuman lo satu-satunya orang yang masih peduli sama gue."

          "Tapi gue udah nggak ada rasa sama lo. Sekarang, semuanya udah berubah. Gue sayang sama Elora."

         "Gue nggak peduli. Gue cuman mau lo ada di sisi gue. Kalau lo masih berani dekat sama Elora. Lo tau apa akibatnya."

          Hening sejenak.

          "Oke, gue akan terus ada di samping lo. Tapi kasih gue waktu 10 hari buat ada di samping Elora. Untuk terakhir kalinya."

🍂🍂🍂

          Suara pendeteksi jantung berbunyi nyaring di ruangan serba putih itu. Elora terbaring di atas brangkar dengan berbagai macam alat yang tertempel di tubuhnya. Mata bulatnya masih setia menutup sejak kemarin sore.

          "Gimana keadaannya dok?" suara serak milik Fiel terdengar lirih.

          Dokter  Siena menggeleng. Wajahnya terlihat muram. "Tidak ada perkembangan. Keadaannya sama seperti kemarin. Saya anjurkan, agar Elora mendapat donor secepatnya. Kalau tidak...."

          Dokter Siena menggeleng lemah seraya menepuk bahu Fiel lembut. "Kita harus percaya. Elora adalah perempuan kuat yang selama ini saya tahu. Dia pasti bisa melewati semua ini."

          Fiel menunduk. Air matanya sudah menetes sejak tadi. Ia sama sekali tidak mempercayai semua ini. Selama bertahun-tahun lamanya, Elora menyimpan semua ini sendirian.

         Dan Fiel tidak tahu bagaimana rasanya jika ia menjadi Elora. Di satu sisi Elora harus melawan penyakitnya, dan disisi lain Elora harus melewati masa-masa sulit dengan bundanya.

         Saat keheningan mulai melanda. Keluarga mereka kembali jatuh. Isak tangis kembali terdengar pilu. Takdir kembali memainkan perannya.

          Percayalah. Masa depan yang indah pasti akan datang. Entah esok hari, lusa dan mungkin juga... tidak.

         

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

         

          

Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang