"Elora, Papa di sini, Nak. Cepat bangun."
Perlahan-lahan kelopak matanya bergerak. Cahaya lampu dan dinding kamar adalah yang pertama kali ia lihat. Tubuhnya terasa kaku. Tenggorokannya tercekat.
Ia menolehkan kepalanya mencari secangkir air yang bisa ia minum. Setelah susah payah, Elora berhasil mengambil cangkir itu dan meneguknya habis.
Kamar inapnya sangat sepi. Ia menoleh ke arah kaca. Di luar hujan turun dengan deras. Lalu kembali lagi menoleh ke arah tangannya yang sedang di infus.
Ia tertawa miris. Untuk apa ia kembali lagi ke tempat ini? Berobat? Bahkan tidak ada pilihan selain cuci darah yang semakin lama semakin sering dilakukan, sebelum ada pendonor datang. Lalu kenapa tidak di rumah saja? Bersenang-senang sebelum waktunya tiba. Tidak usah capek-capek bulak-balik rumah sakit. Membuang-buang uang.
Dan ngomong-ngomong, suara itu. Kenapa tadi Elora seperti mendengar suara Papanya? Apa Papanya tadi ke sini? Tapi rasanya tidak mungkin. Memangnya laki-laki itu peduli?
Ceklek.
Suara pintu terbuka, membuat ia langsung menoleh. Alden, laki-laki itu berdiri di sana. Ia berusaha sebisa mungkin tersenyum, namun langsung terkejut begitu laki-laki itu memeluknya erat.
Elora berkedip. "Kenapa, Den?"
"Biarin kayak gini dulu, Ra. Lo nggak tau gimana takutnya gue kemarin." Alden berbisik lirih. Mengusap rambut Elora.
Elora tertawa kecil. "Nggak ada yang perlu lo takutin. Gue kan strong."
"Tapi ini nggak lucu, Ra."
"Loh, siapa bilang gue lagi ngelucu? Yang tadi gue omongin itu kenyataan tau. Gue itu strong."
"Gue nggak bilang lo lagi ngelucu, tapi saat lo bilang gitu, kesannya kayak lo itu lagi ngeyakinin gue bahwa lo itu memang baik-baik aja. Tapi nyatanya, lo nggak baik-baik aja, Ra!"
Elora menghela napas. Sia-sia lawakan garingnya barusan. Tidak mempengaruhi apapun. Dan lagipula sepertinya Alden sudah mengetahui semuanya. Ia tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi bukan?
"Ya terus gue harus apa, Den?" Tanya Elora pelan. Kepalanya menunduk menatap bajunya yang berwarna putih. Memori-memori itu kembali berkeliaran di pikirannya. Sampai ia ingin membuang memori itu jauh-jauh. Namun tidak bisa.
"Lo cuman harus berhenti lari dari kenyataan. Kembali seperti semula. Melawan semua masalah lo. Lo nggak sendiri, Ra. Ada Kak Fiel, ada gue. Kita bisa hadapin ini sama-sama. Cuman itu Ra, yang harus lo lakuin." Nada bicara Alden menurun. Tatapannya kembali meneduh.
"Lo tau, Ra? Apa pernah lo mikir gimana perasaan kakak lo? Dia juga ada di posisi yang sulit. Tapi apa pernah rasa sakitnya itu terlihat?"
Elora tertegun. Memorinya kembali menampilkan senyuman manis Fiel. Mata Fiel yang sendu saat ia dengannya harus berpisah. Usapan lembut tangan Fiel di kepalanya, dan banyak lagi kenangan yang akan sangat panjang jika di ceritakan.
Di luar, hujan semakin deras. Jutaan bulir air turun dari langit, membuat ribuan genangan di bumi. Tepat saat kepala Elora terangkat, Suara pintu terbuka terdengar. Menampilkan wajah Fiel yang sedikit basah karena hujan.
"Elora? Kamu udah bangun?"
Dada Elora terasa sesak. Bangun dari kasurnya dan memeluk erat sang kakak dengan isakan kecil.
Alden benar. Masih ada yang peduli dengannya. Kakaknya lah orang itu. Dengan seluruh kasih sayangnya, akan selalu ada di samping Elora.
🍂🍂🍂
Pagi ini, langit cerah. Jalanan macet seperti biasanya. Elora kembali bersekolah. Memasuki kelas dengan biasa dan disambut heboh oleh Bella.
"Elora! Yaampun! Udah berapa hari lo nggak masuk tanpa keterangan?! Kita semua khawatir tau." Bella memegang pundak Elora dan menatapnya khawatir. Teman-teman yang lain ikut menolehkan kepalanya, penasaran. Alden, yang mengantar Elora sampai depan pintu kelas, tersenyum kecil.
Masih banyak yang peduli pada gadis itu.
Di tengah suara bising siswa lain, Alden bersandar pada tembok. Menatap langit yang cerah seraya menghela napas. Biarkan semuanya mengalir seiring waktunya berjalan. Biarkan gadis itu mengerti. Bahwa masih banyak orang yang peduli, di tengah rasa sakitnya yang menyerang. Siap berdiri di belakangnya ketika terjatuh.
Dan Alden ada di salah satu orang itu. Yang akan menatap gadis itu dari jauh. Menjaganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi
Teen FictionC O M P L E T E Elora pintar menyimpan rahasia dan kesedihannya. Dan Alden pintar menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Keduanya bertemu. Saling memporak-porandakan hati. Ketika satu persatu rahasia Elora terkuak. Rasa yang tak diinginkan itu...