Pergi - 27

7.2K 260 36
                                    

            Dianjurkan untuk membaca sambil memutar mulmed.

***

          Elora pikir, hidupnya akan kembali seperti semula setelah semua yang telah ia lewati. Tapi mungkin Tuhan masih percaya padanya, bahwa ia adalah orang yang pantang menyerah dan berani.

           Tapi mungkin rasa sedih itu ada. Bahkan mungkin lebih menyakitkan dari yang sebelumnya.

           Dan biarlah Elora terhanyut dalam kesedihan itu. Biarkan dia sendiri sejenak. Merenung. Bahwa sesungguhnya yang kekal itu hanya milik Tuhan.

            Jadi saat Elora mendengar semua perkataan apa yang Papanya katakan, Dunianya kembali terenggut. Bahkan napas saja begitu sulit. Sesak. Seperti ada sesuatu yang menahannya di dalam dada.

            Malam itu, di hari yang sama Elora mendapatkan hadiah sederhana, Denny mengatakan semuanya. Bahkan tanpa berniat sekalipun memberitahunya secara cuma-cuma jika Elora tidak turun ke bawah untuk mengambil air minum.

           "Keadaan Mia begitu buruk sekarang. Ia tidak mau makan, tidak mau keluar kamar sejak Alden memutuskan untuk mendonorkan ginjalnya untuk Elora." Denny menghela napas lelah. Sedangkan Bundanya saat itu hanya menunduk. Tidak tahu harus berbuat apa.

            "Dan bagaimana reaksi Elora tentang semuanya?"

             "Semoga saja dia baik-"

             "Dimana Alden sekarang?" Perkataan Denny langsung terpotong karena ucapan Elora yang tiba-tiba. Gadis itu sekarang berdiri dihadapan kedua orang tuanya dengan raut wajah tidak terbaca.

             "Eh, kamu udah bangun, Nak?" tanya Bundanya mengalihkan pembicaraan.

             "Elora tadi denger semuanya. Jadi sekarang Alden dimana?" ujarnya dengan nada tajam.

              Denny menatapnya dengan khawatir, kemudian mengangguk terpaksa.
              Dan malam itu Elora bertemu Alden di rumah sakit dengan keadaan laki-laki itu yang mengkhawatirkan. Wajahnya pucat. Tatapannya sayu.

              "Alden?" tanyanya dengan nada bergetar. Laki-laki yang sedang berbaring di atas brangkar dengan selang dimana-mana itu menolehkan kepalanya ke arah Elora kemudian tersenyum.

             Elora kemudian duduk disamping brangkar dan menggenggam tangan laki-laki itu yang terasa dingin.

            "Kamu ngapain kesini?" Bahkan dalam keadaan seperti ini pun Alden masih bisa bertanya sesantai ini.

            "Harusnya gue yang nanya lo kenapa sekarang jadi lo yang sakit?" cerca Elora tidak terima.

            Alden terkekeh. "Siapa yang sakit? Aku udah sembuh. Besok juga pulang ke rumah."

             Elora melotot. "Aku kamu? Lo sehat, Den?"

             "Iyalah gue sehat. Kan biar romantis gitu sama pacar sendiri."

             "Siapa juga yang jadi pacar lo. Nembak aja nggak pernah," desis Elora tidak terima.

              "Mulai sekarang kita pacaran," jawab Alden sekenanya.

               "Kalau lo mau jadi pacar gue, harus janji dulu lo harus sehat. Masa nanti gue jomblo lagi baru juga pacaran."

                Alden melotot. "Jadi lo nyumpahin gue mati?!"

                Elora menabok lengan Alden keras. Bersamaan dengan air matanya yang meluruh.

                "Lo harus sehat. Kalau lo mati, gue nggak bisa maafin diri gue sendiri," ujarnya pelan. Kemudian memeluk laki-laki itu erat seolah jika melepaskannya sedetik pun laki-laki itu akan pergi.

               Alden kembali tersenyum. Namun sebuah senyuman miris.

              "Kenapa lo lakuin ini semua?"

              Ruangan itu hening sejenak. Hanya suara mesin pendeteksi jantung yang terdengar. Mata mereka saling tatap. Dan Elora tahu bahwa mata laki-laki itu begitu indah. Elora seperti langsung tersedot ke dalam tatapan laki-laki itu.

             "Apa lo masih belum ngerti kalau gue beneran sayang sama lo?" Suara Alden memecah keheningan di antara mereka berdua. Kemudian memutuskan kontak mata mereka.

             "Dan apa lo masih belum ngerti kalau apa yang lo lakuin ini sama aja kayak membunuh gue secara perlahan?" balas Elora sambil meremas baju rumah sakit yang dipakai Alden. Menyalurkan seberapa besar ketakutannya jika ia sampai kehilangan orang yang disayanginya lagi.

           "Hey, dengerin gue...," Alden mengangkat dagu Elora. "Kalau lo takut gue pergi, maka, itu udah takdir gue. Sama sekali bukan salah lo atau siapapun. Lo harus percaya, bahwa hati ini selalu jadi milik Elora seutuhnya. Elora percaya sama Alden kan?" Dengan lembut Alden menuntun tangannya untuk menyentuh dada laki-laki itu yang berdetak kencang.

          Dan Elora langsung menjawabnya dengan anggukan pelan. Matanya sudah berkaca-kaca. Dan kembali memeluk laki-laki itu sambil terisak.
           
           "I'm jealous of the rain. That falls upon your skin. It's closer than my hands have been. I'm jealous of the rain."

           Senandung pelan Alden memenuhi ruangan yang ditempati mereka berdua. Elora sudah tidak terisak. Hanya menatap kosong ke arah alat pendeteksi jantung yang semakin lemah.

          "I wished you the best of, all this world could give. And i told you when you left me. There's nothing to forgive...."

           Dan garis lurus itu sempurna terbentuk. Lagu yang dinyanyikan Alden berhenti. Dan detak jantung yang tadi Elora dengar sudah tidak ada.

           Posisi mereka masih tetap dengan keadaan Elora yang memeluk laki-laki itu erat. Pandangannya kosong. Dan dengan gerakan lambat, Elora melepas pelukannya. Mengusap rambut laki-laki itu. Menatap mata yang selalu memujanya itu dalam keadaan tertutup.

             Dan Elora mengecup kening laki-laki dengan air mata yang merebak keluar sambil berbisik lirih.

             "Gue suka hadiah lo. Terima kasih."

🍂🍂🍂

S E L E S A I

Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang