Pergi - 14

2.7K 126 0
                                    

          Di sepanjang koridor rumah sakit, Fiel berlari dengan tergesa-gesa. Raut wajahnya begitu tegang. Keringat dingin sudah membanjiri wajahnya. Di belakang, Elora mengikuti dengan langkah lebar.

         Sampai di depan ruang inap sang bunda, Fiel menghela nafasnya beberapa kali, sebelum membuka pintu secara perlahan.

          "Bunda?" Ucap Fiel pelan. Sheila yang sedang disuapi oleh suster langsung menoleh. Lalu tersenyum hangat.

           "Bunda!" Dengan cepat Fiel berhambur ke pelukan Sheila dan membenamkan wajahnya di dada Sheila.

          Rasanya sudah lama sekali Fiel tidak memeluk Sheila. Menatap wajahnya yang sudah mulai keriput dimakan oleh usia.

           "Fiel kangen sama bunda."

           Sheila mengusap-usap kepala Fiel lembut. Sepertinya sudah terlalu lama ia dalam keadaan tidak sadar. Sehingga mengabaikan kedua anaknya begitu saja.

           "Maaf," ucap Sheila pelan. Lantas Fiel mendongak, menggenggam tangan Sheila erat. "Bunda gak salah. Ini semua udah takdir."

          "Tapi gara-gara bunda kalian yang harus menanggung semuanya. Ini salah kami. Kami yang bersalah."

          Fiel menggeleng. "Enggak Bun. Ini bukan salah kalian. Aku dan Elora sudah besar untuk bisa mengerti semuanya."

          "Maaf ya sayang."

          Fiel mengangguk. Lalu kembali membenamkan wajahnya di dada Sheila.

          Hening sejenak, sampai Elora masuk ke dalam ruangan ikut duduk di samping Fiel.

          "Bunda," ucap Elora pelan. Lalu berhambur ke pelukan Sheila.

          "Kalian anak bunda yang pintar dan kuat. Maafin bunda ya."

          "Enggak Bun, ini bukan salah bunda. Kita berdua paham dengan keadaan bunda." Jawab Elora, yang dijawab dengan anggukan Sheila. Air matanya menetes. Pertanda bahwa ia sangat terharu.

          "Fiel, bunda mau tanya sama kamu. Gimana kabar papa?"

          Ruangan itu lengang untuk beberapa saat. Elora dan Fiel saling tatap. Tidak tau harus berbuat apa. 

           "Baik." Jawab Fiel setelah lama menghela nafasnya. Matanya menatap Elora penuh arti. Yang dijawab dengan anggukan.

           "Syukur ya. Bunda udah lama gak ketemu papah. Jadi kangen." Ujar Sheila setengah bercanda. Ia terkekeh pelan. Tapi tidak tahu saja bahwa sedari tadi Elora dan Fiel menelan ludahnya.

            "Coba aja waktu itu bunda mempunyai sikap seperti istri yang baik, mungkin papah kita ada disini. Keluarga kita akan seperti dulu lagi." Sheila menatap kedua anaknya dengan pandangan kosong. Berangan-angan jika keluarganya kembali harmonis.

          Melihat pandangan Sheila yang kembali kosong, Elora menundukkan kepalanya. Tidak kuat menatap itu. Selalu saja begini. Bundanya selalu menyalahkan dirinya atas semua yang terjadi. Dan pada akhirnya kesadarannya kembali di ambil.

          "Enggak Bun, ini bukan salah bunda. Bunda jangan gini dong. Bunda harus kuat. Fiel sama Elora selalu di samping bunda. Jadi bunda jangan gini ya?" Fiel mencoba membujuk sang Bunda. Sedangkan Elora hanya diam.

          "Tapi bun-"

          "Bunda!" Elora berseru seraya bangkit memotong perkataan Sheila. Fiel dan Sheila langsung terkejut. Pasalnya Elora tidak pernah berkata seperti itu pada mereka.

           "Elora kamu-"

           "Cukup kak, cukup." Suara Elora melemah, "aku udah capek sama semuanya. Jadi Elora mohon Bun, jangan bilang kayak gitu seolah-olah bunda adalah penyebab semua ini."

             Fiel dan Sheila membeku di tempat. Mata mereka tidak lepas dari gerak gerik Elora.

            "Bunda korban disini, papah yang memang laki-laki tidak tau diri. Papah em-"

            Plakkk.

            "Diam Elora!" Seru Sheila menyela ucapan Elora dengan menamparnya. Suasana di ruangan itu semakin mencekam dan panas. Fiel diam di tempat. Mulutnya tertutup rapat-rapat menyaksikan pertengkaran antara ibu dan anak itu.

             Panas langsung menjalar di pipi Elora saat tamparan itu mendarat di pipinya. Begitu keras. Dan juga menyakitkan.

             Elora memejamkan matanya mencoba menahan air mata yang terus menyeruak keluar.

             Sadar akan apa yang telah dilakukannya, Sheila langsung menutup mulutnya tidak percaya. Menatap nanar Elora.

            "Elora bunda gak mak-"

            "Udah Bun, cukup. Elora udah ngerti semuanya." Elora langsung berlari keluar ruangan dengan hati teriris-iris. Rasa sakitnya sudah tak tertahankan. Begitu pedih.

          Dengan kecepatan penuh, Elora melajukan mobilnya tanpa arah dan tujuan.

🍂🍂🍂

          Selepas Elora pergi, Fiel mencoba menenangkan Sheila yang sedang terisak hebat. Ia mencoba untuk tenang. Agar tidak salah langkah yang nantinya akan memperburuk keadaan.

          "Fiela, ini salah bunda. Bunda gak seharusnya menampar Elora tadi. Dia pasti sedih. Cepet susul Elora, Fiela. Bunda percaya sama kamu. Bawa Elora ke hadapan Bunda." Isak Sheila di pelukan Fiel.

          Fiel menghela nafasnya kasar, "iya Bun, Fiel nanti susul Elora. Tapi bunda tidur ya. Ini udah terlalu malam."

          Sheila langsung menggeleng, "Enggak, bunda mau nunggu Elora. Elora adik kamu!"

          Suasana semakin buruk. Sheila kembali berteriak kalap. Membuat Fiel langsung memanggil suster untuk menenangkan sang bunda.

          Dengan langkah yang terburu-buru, Fiel langsung berlari menuju mobilnya untuk mencari Elora. Semoga saja adiknya masih belum terlalu jauh. Sehingga memudahkan ia untuk mencarinya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang