Pergi -05

3.7K 166 1
                                    

Ada saatnya dimana seseorang mengalami penurunan drastis saat hidupnya. Ini bukan tentang ekonomi ataupun yang lainnya. Elora tidak pernah peduli jika ia miskin atau apapun itu.

  Tapi yang Elora mau hanya keluarganya. Keluarga yang bahagia seperti kisah - kisah dalam dongeng yang sering bunda ceritakan sebelum tidur waktu ia kecil.

  Dulu keluarga mereka saling melengkapi. Hingga suatu hari semuanya hancur dalam sekejap.

  Elora tidak pernah menyalahkan takdir. Tidak pernah. Ia tahu ini hanya sebuah ujian dengan akhir yang bahagia. Tapi sampai kapan?

  "Ibumu sepertinya sangat tertekan dan psikisnya sedikit terganggu Elora."

  Sebuah rantaian kalimat yang membuat Elora berhenti bernafas. Mati rasa. Lidahnya terasa kelu. Kali ini luka di hatinya semakin terbuka menimbulkan rasa sakit yang teramat perih.

  " Terus saya harus bagaimana dok?" Tanya Elora dengan nada bergetar.

  Dokter Opi, dokter kepercayaan keluarga mereka menghela nafas pasrah. Menatap Elora prihatin.

  "Kita harus melakukan terapi Elora, tapi  beritahu ayahmu dulu." Jawab Dokter Opi.

  Elora tertawa getir. Untuk apa ia memberitahu ayahnya? Orang yang telah menyebabkan kehancuran keluarganya.

  " Gak perlu, dia pasti sibuk." Bohong Elora.

  "Untuk saat ini, ibumu akan kami bawa ke rumah sakit Harapan."

  Mata Elora berubah tajam. Apa tadi katanya? Rumah sakit Harapan?

  " Dok ibu saya gak gila!" Elora bangkit dari duduknya. Wajahnya yang selalu ramah berubah menjadi dingin dan ketus. Tidak terima dengan penuturan dokter yang menyebut ibunya tidak waras. Ia tahu rumah sakit harapan itu tempat orang orang yang mempunyai penyakit batin. Atau secara kasarnya rumah sakit jiwa.

  "Tapi Elora, jika terus seperti ini. Kondisinya akan memburuk." Kata okter Opi mencoba bersabar. Mengerti dengan keadaan Elora.

  " Saya butuh waktu dok." Kata Elora sebelum beranjak pergi.

  Air matanya yang sedari tadi ia tahan akhirnya keluar juga. Menimbulkan sebuah isakan pilu. Ia jatuh terduduk, kakinya tidak kuat menahan beban tubuhnya, memeluk lututnya  kuat - kuat. Menumpahkan rasa sakitnya saat itu juga.

  "Elora?"

  Elora mendongak, menatap ke asal suara. Didepannya Alden, menatap Elora khawatir.

  " Lo kenapa?"

  Elora tidak menjawab, langsung berhambur memeluk Alden tanpa pikir apapun. Untuk saat ini, ia butuh sandaran. Mungkin Alden adalah orangnya.

🍂🍂🍂

  Hari ini Alden datang ke rumah sakit karena mendapat kebar Edo- temannya masuk rumah sakit karena kecelakaan kecil. Tapi Alden tidak pernah menyangka akan bertemu Elora disana.

  Apalagi saat melihat keadaan gadis itu, duduk di depan pintu kamar inap sambil menunduk.

  Awalnya Alden kira itu bukan Elora tapi saat melihat rambut orang itu berwarna pirang dan baju yang dikenakannya terasa familiar, Alden yakin itu Elora.

  Saat gadis itu memeluknya sambil menangis, Alden tahu satu hal. Gadis itu sedang tidak baik - baik saja.

  "Elora? Lo kenapa?" Tanya Alden pelan sambil mengusap usap punggung Elora. Elora masih diam di pelukan Alden.

  "Elora?" Alden mencoba melepas pelukannya tidak enak dengan orang - orang yang menatapnya. Tapi Elora masih diam. Isakannya sudah tidak terdengar.

  " Elora!" Alden langsung membopong tubuh Elora saat melihat gadis itu tak sadarkan diri di pelukannya.

🍂🍂🍂

Elora beranjak dari tidurnya ketika matanya terbuka sempurna. Ia memegang kepalanya sambil meringis. Kepalanya terasa sangat pusing.

  Menatap sekitar, lalu mengernyit bingung. Mencoba mengingat - ngingat apa yang telah terjadi.

  "Ternyata lo udah sadar." Ucap seseorang. Elora langsung menoleh ke asal suara. Alisnya bertaut bertanya - tanya, kenapa Alden bisa disini.

  " Lo tadi pingsan, ingat?" Kata Alden seolah membaca pikiran Elora. Pikiran Elora langsung terjatuh pada kejadian tadi.

  Keadaan ibunya yang sangat buruk dan ia menangis di pelukan Alden hingga jatuh pingsan.

  Tentu saja yang terakhir itu, membuat wajahnya merah padam karena malu.

  Alden yang menyadari wajah gadis di depannya memerah sontak langsung tertawa.

  "Lo lucu deh kalau mukanya merah gitu." Ujarnya sambil mencubit pipi Elora gemas. Elora mengaduh. " Duh jangat cubit, sakit tau!"

  "Sorry deh, btw, gue bawa bubur buat lo." Alden mengeluarkan satu porsi dari kantong plastik yang ia bawa.

  " Nih."

  Elora menerima bubur itu dengan senang hati. Lagipula perutnya sudah keroncongan minta isi.

  "Duh, ribet banget sih." Gerutu Elora saat berusaha menyingkirkan selang infus yang menganggu aktivitas makannya. Ia langsung mencabut infus itu tanpa pikir panjang. Lagipula ia tidak sakit parah sehingga harus diberi infus.

  " Eh Elora tangan lo berdarah." Seru Alden panik. Elora mendelik ke arah Alden. Memangnya kata siapa ini sirup? Melihat darah saja sangat histeris.

  "Kenapa pake di cabut sih." Kata Alden sambil mengobati lukanya. Elora hanya diam menatap Alden yang sedang serius.

  " Lagipula kenapa gue harus pake infus segala, cuman pingsan doang."

  "Tapi lo udah pingsan 2 hari Elora." Jawab Alden membuat Elora tersedak. Apa tadi katanya? 2 hari? Yang benar saja!

  " Lo pasti bohong kan?" Elora tertawa garing. Wajah Alden berubah serius membuat Elora mau tak mau berhenti tertawa.

  "Gue gak bohong Elora."

  Elora langsung bangkit dari duduknya dan berlari keluar dari kamar rawat inapnya. Ada satu hal yang ia lupakan dan itu sangat penting baginya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang