Pergi - 23

3K 145 0
                                    

          Sore ini, hujan kembali turun. Jalanan macet seperti biasa. Dan Elora seperti kebiasaannya dulu adalah datang ke cafe dan meminum secangkir kopi hitam sembari menatap ke arah luar jendela.

          Mantelnya yang berwarna cokelat dengan syal dilehernya sempurna membungkus tubuhnya sore ini yang terasa begitu dingin. Ia kembali sendirian. Disaat-saat seperti ini lah Elora sibuk memikirkan semuanya. Ia akan merenung. Bahkan sampai berjam-jam lamanya.

          Tapi tepukkan lembut di bahunya, membuyarkan semuanya. Ia berbalik, menoleh. Lantas mematung.

          Perasaannya seketika tidak karuan. Sedih, kecewa, terkejut, senang,-- semuanya bercampur menjadi satu. Matanya bahkan berkaca-kaca saat orang itu meraih bahunya dan menariknya ke dalam dekapan yang begitu menghangatkan.

          Orang itu masih sama saat terakhir kali Elora bertemu. Garis wajahnya masih tegas. Bahunya gagah, dan,

           Orang itu masih menyayanginya dengan sepenuh hati. Layaknya seorang anak dan ayah lainnya.

          Tapi Elora tidak tahu harus membalas pelukannya atau tidak. Karena jujur saja, ia masih kecewa dengan Papanya saat ini.

🍂🍂🍂


        Suara teriakan melengking dari lantai bawah mengejutkan Elora yang sedang berbaring di atas kasur sambil memainkan ponselnya. Ia sontak bangkit dan berjalan ke luar kamar. Elora berdiri diujung tangga, melihat sang Papa sedang berjalan dengan tergesa-gesa sambil menyeret sebuah koper dan kakaknya-- Fiel.

          "Kamu benar-benar mau pergi, Mas?" lirih Bundanya sambil memegang kemeja sang Papa dengan pipi yang sudah basah. Tangannya bergetar menahan sesak saat suaminya sendiri menepis tangannya kasar.

          "Aku masih punya tanggung jawab lain, Sheila! Kamu sudah tahu itu kan?! Sekarang saatnya kita berpisah, dan aku bahagia dengan keluarga baru," ujar Papanya dengan suara tertahan. Matanya terpejam erat sebelum pergi ke arah pintu dan menutupnya keras.

          Yang Elora terakhir lihat adalah tubuh Bundanya meluruh bersamaan dengan tangisnya yang pilu. Tangannya meraung-raung agar suami yang dicintainya kembali. Tapi percuma, Papanya sudah pergi tanpa menoleh lagi ke belakang.

          Dan ia sendiri, hanya bisa mematung. Tubuhnya terasa membeku. Tenggorokannya tercekat. Tidak bisa berkata-kata.

         Papanya telah pergi. Superheronya telah berkhianat. Dan itu sama sekali tidak bisa ia percaya.

🍂🍂🍂

          Masih sangat jelas diingatannya saat kejadian itu terjadi. Semuanya berakhir buruk. Bundanya depresi. Dan Elora tidak mau lagi mengigat masa-masa itu lagi.

         "Papa minta maaf Elora."

          Suara berat itu terdengar menyesakkan. Tapi cukup untuk meredam suara bising orang-orang yang terdengar tidak penting dan juga suara hujan deras diluar cafe.

         Tangan sang Papa meraih tangannya lembut. Matanya berkaca-kaca saat menatap Elora. Seperti ada penyesalan yang begitu besar dari raut wajahnya.

         "Saat itu, Papa salah-- Papa khilaf, dan Papa tahu apa yang Papa lakuin waktu itu sangat fatal dan juga yang menjadi awal kehancuran keluarga kita, tapi Papa mohon Elora, tolong kasih Papa kesempatan buat memperbaiki semuanya." Papa menarik napasnya keras. Sekuat mungkin menahan air mata yang terus mendesak keluar. Tangannya gemetar.

          "Papa janji, Papa akan memperbaiki semuanya. Papa nggak akan ninggalin Elora lagi. Papa nggak bakal ninggalin Bunda sama Fiel lagi. Kita mulai semuanya dari awal. Elora mau kan?"

          Elora memalingkan wajahnya. Ia juga ingin berteriak marah, namun mulutnya terasa kelu untuk mengeluarkan kata-kata itu. Yang bisa ia lakukan hanya diam.

          "Jadi, Elora mau kan?"

          Kali ini Elora menatap wajah Papanya lekat. "Papa pikir semudah itu?"

           "Elora... Pa--papa-"

           "Papa pergi ninggalin aku sama Mama. Sampai Mama depresi dan berkali-kali coba buat bunuh diri! Apa Papa nggak tahu gimana susahnya aku? Setiap hari liat Mama nangis, sampai nyoba nyelakain dirinya, supaya Papa datang ke rumah. Tapi apa? Papa nggak pernah peduli!"

           Hening sejenak. Suara hujan diluar ditambah guntur semakin memekakkan telinga. Satu dua orang yang ada disana menoleh heran. Namun sama sekali tidak Elora hiraukan.

           "Dan hari ini, Papa datang," nada suaranya memelan. Memori-memori itu terputar kembali tanpa bisa dicegah. Begitu menyakitkan.

           "Elora perlu waktu, Pa," tukas Elora final dan berjalan keluar cafe.

          Air matanya meluruh, namun dengan cepat ditepisnya. Ia berjalan dengan cepat, sampai semuanya terjadi tanpa bisa dicegah.

          Tubuhnya terlempar beberapa meter ke depan saat bertubrukan dengan benda besi yang begitu padat. Orang-orang berteriak panik. Dan detik itu juga, Denny merasa jantungnya berhenti berdetak.

Kayaknya bentar lagi tamat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Kayaknya bentar lagi tamat. Maafkan aku yang slow update ya. Jangan lupa vote dan commentnya!

Pergi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang