"Alden! Coba lo liat ini deh. Bagus 'kan?" tanya Mia menunjukkan sepasang gantungan kunci kepada Alden. Wajahnya berbinar. Merasa senang karena setelah sekian lama ia bisa kembali kencan dengan Alden.
Alden tersenyum paksa. "Iya itu bagus. Ambil aja."
"Lo mau yang gambar kucing atau biri-biri?" tanya Mia lagi. Tangannya sibuk memilah-milah. Sedangkan Alden mengangkat bahunya. "Terserah lo. Yang paling bagus aja."
Mia mendelik, "ih Alden, ini kan buat lo. Selera kita kan beda."
Alden meringis, kemudian menggaruk tengkuknya tidak gatal. "Ya udah, yang kucing aja."
"Ya udah lo tunggu diluar aja. Gue bayar dulu."
Alden berdehem sebagai jawaban, kemudian melengos pergi. Tapi saat melewati rak yang berisi kuciran rambut, langkah Alden berhenti. Teringat sesuatu.
Kalau gue kasih ini... Elora suka nggak ya? Pikir Alden dalam hati. Detik berikutnya, dia mengangkat bahu dan mengambil beberapa kuciran berwarna pink dengan titik titik berwarna putih.
"Semoga aja dia suka," gumam Alden pelan.
🍂🍂🍂
Lorong rumah sakit itu terdengar berisik. Brangkar-brangkar orang yang sakit terlihat kesana kemari. Orang-orang sibuk mengeluh penat. Ada pula yang berteriak pilu karena kehilangan salah satu kerabatnya. Ada juga yang mengucapkan syukur berkali-kali karena kerabat mereka sudah diperbolehkan pulang. Begitu banyak kejadian bermacam disini.Tapi kita fokuskan pada satu orang. Dimana laki-laki paruh baya itu membentak seorang dokter. Matanya berkaca-kaca.
"Enggak dok! Lakukan apapun agar anak saya selamat! Berapapun biayanya saya pasti mampu! Tapi saya mohon dok, selamatkan anak saya!"
Dokter itu menghela napasnya sebelum menepuk pundak laki-laki paruh baya itu sabar. "Tenang dulu, Pak. Saat ini Elora memang kritis, kita membutuhkan donor ginjal secepatnya. Ditambah lagi dengan pendarahan di otaknya karena kecelakaan tadi. Bapak harus tenang dulu ya, Pak."
Laki-laki itu atau lebih tepatnya Papa Elora mengacak rambutnya. Ini semua salahnya.
"Elora pasti bisa melewati semua ini. Dia adalah pasien saya yang paling kuat," ucap dokter itu sambil tersenyum maklum sebelum pamit pergi.
Tubuh Denny meluruh ke lantai. Semua ini salahnya. Andai saja tadi ia bisa menahan diri untuk tidak menghampiri Elora, mungkin gadis itu masih baik-baik saja. Anaknya itu mungkin masih bisa tertawa. Denny rela jika ia harus pergi sejauh mungkin asal anaknya bahagia. Tidak dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan seperti sekarang.
Kepalanya mendongak. Teringat sesuatu. Dan segera mengangkat tubuhnya untuk menghampiri dokter. Jika ini salah satu cara agar Elora mau memaafkan dirinya. Denny rela untuk kehilangan segalanya.
Bahkan dengan cara mendonorkan kedua ginjalnya sekalipun.
🍂🍂🍂
Lembayung senja menggantung di langit sore ini saat mobil Alden berhenti tepat di depan rumah Elora. Sekantung plastik kuciran yang tadi ia beli di Mall bersama Mia berada di tangan sebelah kanannya.Hari ini tepat hari keenam setelah perjanjiannya dengan Mia dibuat. Tersisa empat hari lagi. Dan Alden harus menggunakan waktunya sebaik mungkin. Ia ingin agar Elora tahu. Bahwa perasaannya pada gadis itu lebih dari sekedar sahabat. Tapi semesta mungkin tidak mengizinkan mereka bersama.
Dan dengan bahu tegap, Alden melangkahkan kakinya percaya diri. Hari ini pasti akan menjadi hari yang spesial.
Baru saja Alden ingin mengetuk pintu, seseorang telah membukanya terlebih dahulu. Wajah Fiel muncul setelahnya dengan Bunda Elora dibelakangnya. Wajah mereka pucat dan juga panik membuat Alden bingung.
"Hmm..., Tante, Eloranya ada?" tanya Alden ragu. Fiel dan Bunda Elora menatapnya lekat. Dan dengan tangan gemetar, Fiel menyentuh lengan Alden lembut,
"Elora kecelakaan, Den."
Dan sempurna sudah kantung plastik yang dibawanya terjatuh hingga isinya berceceran. Sama seperti hatinya yang telah hancur berkeping-keping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi
Teen FictionC O M P L E T E Elora pintar menyimpan rahasia dan kesedihannya. Dan Alden pintar menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Keduanya bertemu. Saling memporak-porandakan hati. Ketika satu persatu rahasia Elora terkuak. Rasa yang tak diinginkan itu...