8. She has beautiful smile

16.2K 1.3K 30
                                    

Saat melihat jarum jam berada di arah angka 4, yang berarti menandakan bahwa sekolahnya sudah bubaran pulang. Aric langsung izin pada teman-temannya yang masih berada di warung Abah, untuk pergi ke kelas terlebih dahulu. Sudah jelas, mereka kini lari lagi dari pelajaran dan memilih untuk belajar di warung Abah. Belajar berbohong maksudnya.

"Mau kemana dah?" tanya Rio yang kini tengah menyulut rokoknya. "Bukannya si Alger udah bawa mobil sendiri?"

Aric menganggaruk tekuknya. Bingung untuk menjelaskan pada teman-temannya. "Ah, gue apal gue apal." Timpal Evan. "Pasti mau modus ke si Lisan itu anak."

"Yaelah, move on dong man! Jangan Lisan mulu napa sih. Udah punya monyet tu anak, cari yang lain gih yang masih single." Timpal Zelvin membuat Aric menghela nafasnya panjang. Harus kalian ketahui, kelima sahabat Aric itu tidak menyukai Lisan. Bukan, bukan tidak suka karena benci. Tetapi mereka tidak suka pada Lisan karena gadis itu telah menyakiti perasaan Aric—walaupun faktanya Lisan tidak pernah tahu jika ia menyakiti Aric, karena Lisan pun memang tidak tahu apa-apa soal isi hati Aric. Tetapi, tetap saja menurut kelima lelaki itu, Lisan sudah menyakti Aric dan membuat lelaki itu menjadi sosok lelaki yang menyedihkan.

"Apaan sih tai, so tau banget lo pada. Ntar deh gue jelasin, pokoknya gue harus cabut sekarang." Tanpa menghiraukan kembali ucapan-ucapan para sahabat dibelakangnya, Aric berlari kecil menuju sekolah sambil sesekali mengedarkan pandangan takut-takut orang yang ia cari sudah keluar kelas. Tapi beruntung, saat Aric sampai di kelas, ternyata orang yang ia cari masih ada di bangkunya sedang membereskan peralatan tulisnya.

"Luna!" Luna yang sedari tadi tengah sibuk memasukan peralatan tulis kedalam kotak pensilnya, menoleh kearah pintu kelas, dan senyumnya tiba-tiba saja terbit tanpa permisi saat melihat Aric yang berdiri sambil menatapnya.

"Kenapa?" tanyanya sambil mencoba menetralkan degub jantung yang tiba-tiba berdetak tidak karuan. Ya Tuhan, ada apa dengan jantungnya?

Aric berjalan menuju bangku Luna dan duduk di bangku depan Luna—kerena memang Sonia, Meli, serta Lisan sudah pulang terlebih dahulu. Jika Sonia pergi eskul, dan Meli memang tidak sekolah dengan alasan sakit, sedangkan Lisan? Entahlah. Mungkin gadis itu pergi bersama Dimas?

"Kata Bu Tari, lusa kita ulangan Akuntansi?" tanya Aric. Luna mengangguk sambil menyimpan peralatannya yang sudah selesai ia bereskan. "Lo tau nggak, apa aja materi yang di ulanganin?" tanyanya lagi.

"Katanya sih dari mulai Bab awal sampai Bab tiga. Tapi gue masih nggak tau detailnya materi apa aja, soalnya kan gue juga masih baru. Jadi mungkin gue masih harus banyak tanya." ucap Luna.

"Nah bener tuh Lun. Makanya gue disini."

"Maksudnya?" Luna mengangkat sebelah alisnya.

"Gue tau kok materi apa aja yang diulanganin." Jawab Aric bangga.

"Terus kenapa tadi nanya?"

"Mastiin aja kalo lo emang nggak tau." Aric terkekeh kecil. "Makanya gue disini. Ya, buat jadi orang yang siap menjawab semua pertanyaan lo tentunya." Lelaki itu tersenyum.

"Oh gitu." Luna mengangguk kecil. "Jadi, apa aja Ric?"

"Mending ngasih taunya jangan disini deh."

"Eh kenapa? Kok jangan disini?" tanya Luna heran.

"Mending kita ke toko buku aja Lun. Kalo disana, kita bisa sekalian cari-cari materinya. Kalo disini, gue nggak punya. Soalnya gue nggak pernah nyatet kalo Bu Tari lagi nerangin." Ucap Aric. "Sekalian ngedate juga gitu." lanjutnya.

***

"Inget nggak? Di bangku itu kita kenalan." Ucap Aric sambil menunjuk sebuah kursi yang sedang diduduki oleh seorang remaja perempuan. "Waktu itu, lo yang lagi baca buku disitu." Luna tertawa kecil. Ya, di toko buku ini lah pertemuan keduanya dengan Aric, setelah pertemuan pertama mereka di pinggir jalan, saat Alger nyaris menabraknya.

Seeking for Something [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang