2. Her name?

24.3K 1.7K 40
                                    

Chapter 2

Disaat kelas sudah mulai kosong karena bel pulang sekolah sudah berdering sedari tadi, justru anak-anak Abah baru saja menapakan kaki mereka kedalam kelas yang mereka tinggalkan sejak pelajaran pertama selesai. Aneh memang. Disaat murid-murid lain datang mereka malah pergi, dan disaat murid-murid pulang, mereka malah datang dan berdiam diri di dalam kelas sampai sore. Ya begitulah kegiatan mereka setiap harinya. Selalu saja membuat para guru kelimpungan mencari jejak kepergian mereka berenam.

Dan kini, disaat beberapa anak kelas sudah selesai menyapu dan membereskan kelas—karena jadwal piket. Keenam lelaki itu malah kembali menginjakan sepatunya yang kotor pada lantai yang sudah di sapu oleh teman sekelasnya, tak lupa kaki mereka yang tidak bisa diam itu pasti saja menendang meja, bangku, tong sampah atau apapun itu yang berada di dekat jangkauan kaki mereka. Della, yang menjabat sebagai seksi kebersihan di kelasnya ini hanya bisa pasrah melihat keadaan kelas yang sudah ia bersihkan semaksimal mungkin, kembali pada kadaan semula, yaitu berantakan. Ulah siapa jika bukan ulah enam lelaki rusuh yang menyebalkan. Ia ingin marah, tetapi tidak bisa. Karena ia tahu, semarah apapun ia pada mereka, mereka tetap tidak akan mendengarnya. Dan mengabaikan ucapannya. Itu sudah sangat biasa!

"Den, nonton yu." Ajak Zelvin si cucu pemilik sekolah ini. Ya, kakek Zelvin memang pemilik yayasan Karasta School Education, tetapi lelaki itu tidak mencontohkan hal-hal yang baik yang seharusnya lelaki itu tunjukan pada siswa lain. Justru Zelvin bertingkah sedikit kekanak-kanakan dan seenaknya. Ya seperti saat ini lah contohnya.

"Eh gue kemarin udah download banyak." Timpal Evan sambil mengambil flashdist di dalam saku celananya. "Nah, tuh buka Den. Di folder Bismillah." Ucap Evan sambil melemparkan benda kecil itu pada Alden yang tengah duduk di depan layar laptopnya.

"Buset dah. Nama foldernya, dusta amat." Ucap Rio.

"Biar tidak dicurigai. Come on Alden. Why you so slowing to show my video!" ucap Evan sambil menepuk bahu Alden.

"Make proyektor aja." Ucap Reynand dengan nada datar, membuat Aric melepaskan pukulan pada bahu lelaki itu.

"Sinting apa gimana sih lo?" tanya Aric.

"Ya biar enak aja nontonnya." Jawab Reynand sambil mengangkat bahunya acuh.

"Nah yang itutu." Ucap Evan sambil menunjuk salah satu video di layar tipis laptop milik Alden. "Itu paling madep, sumpah."

"Woy ganteng! tutupin dong pintunya! Tolong ya!" teriak Rio dari dalam kelas, pada seorang murid lelaki yang baru saja melewati kelas mereka. Murid yang Rio yakini kelas sepuluh itu menurut, lalu menutupkan pintu kelas XII IPS 1, yang kini hanya terdapat keenam lelaki itu didalamnya.

"Ehm," dehem Aric saat video milik Evan mulai Alden putar. Lelaki itu menggaruk tekuknya saat melihat adegan yang tersuguhkan jelas dihadapannya. Sungguh, lelaki mana yang tidak tergoda saat melihat video-video seperti itu. Dan, Aric adalah lelaki normal yang mudah tergoda untuk menyaksikan video itu. Berkali-kali Aric mencoba untuk menelan salivanya yang terus saja mengalir di rongga mulutnya. Aric mengedarkan pandangannya kesekitar kelas, takut-takut ada guru atau murid lain yang melihat mereka berenam yang sedang duduk di pojok, dengan Laptop yang berada di hadapan mereka. Mungkin, melihat dari posisi para lelaki itu yang sedang duduk dengan tegang pun, orang-orang langsung bisa memahami apa yang sedang dilakukan mereka.

"Ahh..." suara desahan yang keluar dari si tokoh perempuan di video itu membuat Aric mengecilkan volume laptop Alden dengan tangan gemetar. Ini bukan pertama kalinya Aric menonton video yang 'begituan' tetapi tetap saja Aric merasa dosa dan ketakutan sendiri. Padahal, kelima temannya telihat enjoy-enjoy saja dan menikmati video itu tanpa rasa takut yang seperti diaalami oleh Aric. Entahlah, Aric memang jarang menonton video seperti itu. Ia akan menonton jika sahabat-sahabatnya menonton—contohnya seperti saat ini. Dan jika ia sedang sendiri, ia tidak pernah sama sekali membuka video-video seperti itu. Terkecuali, jika memang Aric beruntung mendapatkan adegan seperti itu dari film barat yang selalu ia tonton di dalam kamarnya.

Seeking for Something [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang