Lanjutan Serpihan Ingatan (1)
-------------------------------------
Akhirnya aku kembali ke kota halamanku. Berjalan perlahan di trotoar. Nyanyian musisi jalanan mengiringiku menuju halte. Namun cuaca tak dapat diprediksi. Hujan gemuruh menjebakku di tengah-tengah halte bersama perempuan yang masih SMA.
Hujan pun mulai reda. Coretan pelangi menghiasi langit. Cahaya matahari menembus tebalnya awan.
Hingga bus pun mendatangi halte.
Pintu yang terbuka otomatis membuatku beranjak dan memasuki bus. Seperti kebiasaanku, aku memilih duduk di samping jendela. Duduk sendirian melihati tata letak kota. Namun para penumpang membiarkan kursi di sebelahku tetap kosong, tanpa penghuni.Dua halte telah terlampaui. Penumpang baru berdatangan hingga seorang wanita putih berkerudung meminta izin kepadaku.
"Mas, saya boleh di sini?" tanya ia dengan nada pelan.
"Oh ya silahkan," mataku tetap mengacuh dan tetap memandangi luar jendela.
Keheningan manpir disela-sela perjalananku. Matahari yang sudah melebihi titik atas membuatku penasaran akan waktu. Aku pun bertanya pada wanita di sebelahku.
"Mbak sekarang jam berapa?"
"Jam 14.25 mas," matanya menghidupkan jam yang ada pada tangannya.
Jamnya yang tak asing mengingatkanku pada kenangan kerikil yang hadir.
Elina?
Ah tidak mungkin, Elina tidak pernah memakai kerudung, kulitnya juga tidak seputih wanita di sebelahku.Namun mengapa jamnya terlihat sama dengan simbol E di tengah-tengah jamnya yang berwarna biru, warna kesukaan Elina.
Rasa penasaran menghantuiku, membuatku terpaksa bertanya.
"Mbaknya asli sini?"
"Oh iya."
"Daerah mana?"
"Daerah dekat simpang SMA"
Daerah yang sama seperti Elina, membuatku semakin bertanya-tanya.
"Kalau boleh tahu namanya siapa mbak?"
Ia terdiam sejenak, "Elina mas"
"Elina Fitriana?" sahutku dengan cepat.
"Em iya mas," pandangannya merunduk.
Aku sangat terkejut seketika. Menutupi sebelah mataku dengan tanganku. Terawa sedikit sembari berkata, "Jam dariku masih kau pakai Lin?"
"Ha?" Ia terkejut mendengar pernyataanku, "Maksudnya?" lanjutnya.
"Jam itu, yang kuberikan sewaktu pestamu" jariku menunjuk jam yang menempel pada tangannya.
"Leo Pradana, itu aku" wajahku memalingkan pandangan.
"Ha? le?" dia terkejut sembari menatapku.
Menatap dengan penuh keheranan. Aku pun juga tak menyangka bisa bertemu dengannya secepat ini. Kami pun melanjutkan pembicaraan tentang kabar yang selama ini hilang. Bergurai sekali-kali untuk mencairkan suasana.
"Eh, btw dirimu sudah punya cowo?" celetusku memicu.
"Em belum, hehe" nadanya pelan, tangannya memegang kepala bagian kiri.
"Loh masa??? kenapa?"
"Aku masih menutup hati hehe..."
"Ha? maksudnya?
"Aku selama ini menutup hati dan percaya menunggumu hingga kamu kembali," wajahnya merunduk.
Aku pun terdiam, lagi-lagi aku tertegun tak percaya antara mimpi dan kenyataan yang tak ada bedanya.
"Lah kamu?" matanya tetap mengarah ke bawah.
"Aku sendirian hehe, dan kembali kesini sih niatnya pingin cari."
"Cari apa?" tangannya mengepal di pangkuannya.
"Cari kamu" sahutku dengan sekejap.
Akhirnya kami pun terdiam dan Bus masih melaju kencang. Hanya sekali-kali tatapan bertemu mengiyakan maksud tersirat masing-masing. Maksud akhir bahwa jodoh pasti bertemu.
----------------------------++
#30DWC #Day30
----------------------------++
KAMU SEDANG MEMBACA
Lentera Harapan
Fiksi RemajaSeringkali terjatuh dalam lubang yang sama, Seringkali terkunci pada ruang yang sama, Seringkali tersesak menjalaninya. Seringkali hampir menyerah dalam perjuangan yang sama. Namun selalu ada "Kamu" sebagai Lentera Harapanku yang memancarkan jutaan...