Rindi terbangun dari rebahannya, ia sejak tadi hanya melamun menatap lampu tidur di samping ranjang. Ia memikirkan ucapan ibunya Daffa, rasanya begitu menyakitkan. Rindi merasa mulai bangkit dari keterpurukannya karena Daffa tetapi sekarang dia harus di tolak lagi oleh orangtuannya.
Haruskah seperti ini lagi...?
Apa salahnya sampai harus berulang kali mendapatkan perlakuan seperti ini.Ia menatap kakinya yang tidak tertutupi selimut. Bayangan saat ia tenggelam terlintas di benaknya. Saat itu ia merasa seperti akan mati dan mengakhiri segalanya karena kakinya yang tak mampu bergerak sama sekali.
Ia berangsur menurunkan sebelah kakinya ke lantai marmer yang dingin, lalu menurunkan kaki yang satunya lagi. Ia menatap kedua kakinya dengan helaan nafas dan penuh keteguhan.
"Aku harus bisa," gumamnya.
Dengan berpegangan pada sisi ranjang, ia mulai mengangkat tubuhnya dengan bertumpu pada kedua tangannya. Ia harus mencapai kursi roda yang hanya berjarak beberapa cm darinya.
"Kamu bisa," gumamnya mulai menggerakkan kakinya yang berangsur di lantai.
Tetapi baru melangkahkan sedikit saja kakinya sudah bergetar dan tubuhnya oleng karena kehilangan keseimbangan.
Brug
Tubuhnya jatuh ke lantai karena kakinya masih tak mampu berpijak.
"Hikzz.... aku benci seperti ini." Ia menangis histeris sambil memukuli kedua kakinya. "aku benci seperti ini, aku benci!"
Tangisnya pecah seketika sambil memukuli kedua kakinya.
"Rindi sayang," Irene yang datang bersama Seno segera menghampiri Rindi dan memeluk putrinya itu. Sedangkan Randa berdiri di ambang pintu,
"Ada apa Nak?" tanya Seno yang sudah berjongkok di depan Rindi, sedangkan Irene sudah memeluk Rindi.
"Hikz.... aku benci lumpuh. Semua orang menghinaku, aku tidak mau cacar, aku mau berjalan dengan kakiku sendiri. Hikzz,,,," jeritnya histeris membuat Seno berkaca-kaca, bahkan Irene dan Randa sudah menangis melihatnya.
"Aku ingin seperti yang lain, Papa. Aku ingin bisa berjalan, hikzzzz...."
"Kenapa aku harus berbeda dari yang lain, kenapa aku harus seperti ini, hikzz. Aku benci kondisi seperti ini." Rindi semakin menangis terisak di pelukan Irene.
"Kamu pasti akan berjalan kembali, Sayang. Hanya butuh waktu, kamu akan terus mengikuti beberapa terapi lagi untuk bisa berjalan." Seno menjelaskannya dengan begitu lembut seraya mengusap kepala Rindi.
"ini sudah 6 bulan berlalu tetapi aku masih seperti ini. Aku masih lumpuh," isaknya.
"Belum Nak, bersabarlah sedikit lagi." Seno ikut memeluk Rindi.
"Aku takut, aku takut tak mampu berjalan lagi, hikzzz. Aku takut hanya akan hidup dengan merepotkan orang-orang."
"Tidak Sayang, tidak akan yang di repotkan oleh kamu," ucap Irene. "Kami di sini untukmu,"
Randa tak mampu lagi melihat pemandangan seperti itu, ia beranjak pergi menuju kamarnya dan menangis sejadi-jadinya di sana. Andai ia bisa mendonorkan kedua kakinya untuk kembarannya itu.
Sejak dulu Rindi begitu sulit mendapatkan kebahagiaan, dia gadis yang begitu tertutup. Bahkan saat bersama Percypun, ia seakan tak memiliki sumber kebahagiaan lain selain Percy. Masalah dan cobaan terus datang padanya. Membuatnya semakin berputus asa.
***
Daffa berjalan memasuki sebuah rumah mewah. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kakinya lagi di rumah ini. Rumah keluarganya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Difference
ChickLit18+ (sebagian cerita di private) Saat perbedaan keyakinan menjadi hambatan dalam hubungan yang sudah 5 tahun berjalan. Pengorbananpun harus di lakukan, berkorban untuk melepaskannya atau tetap memperjuangkannya. Disaat aku ingin memperjuangkannya, k...