Part 30

4.7K 454 67
                                    

Hari ini sesuai rencana Daffa menemani Rindi melakukan terapi di AMI Hospital. Hari ini Rindi terlihat cantik dengan dres berwarna putihnya, rambutnya ia ikat sebagian. Sehingga terlihat begitu cantik,

Daffa juga terlihat lebih fres dari sebelumnya, bulu bulu di sekitar rahangnyapun sudah di cukur bersih.

Ia menemani Rindi melakukan beberapa proses, mulai dari konsultasi dan di periksa kaki Rindi. Lalu dokter mengintruksikan Rindi untuk berjalan di tempat terapi dengan berpegangan ke kanan kirinya yang terdapat pegangan. Ia mulai berdiri dengan Daffa yang tak melepaskannya,

"Aku takut,"

"Ayo Rindi kamu pasti bisa," ucap Daffa menyemangatinya. "Aku disini untuk menjaga kamu kalau kamu jatuh."

Setelah menghela nafasnya, Rindi perlahan menggerakkan kakinya perlahan-lahan. "Ya benar, kamu pasti bisa."

Rindi terus melangkahkan kakinya perlahan, sebentar lagi sampai ke ujung.

"Kamu bisa kan," Rindi terkekeh saat ia berhasil. Ia tersenyum ke arah Daffa yang masih menampilkan senyumannya pada Rindi.

"Aww," Daffa dengan sigap menahan tubuh Rindi saat ia mulai kehilangan keseimbangannya.

Rindi menoleh ke arah Daffa hingga mata mereka beradu dan bertatapan cukup lama. Daffa maupun Rindi tak ada yang ingin memutuskan satu sama lain hingga deheman dokter menyadarkan mereka.

Daffa membantu Rindi untuk berdiri tegak dan kembali membantunya untuk berjalan perlahan.

***

Setelah melakukan terapi, Daffa membawa Rindi untuk makan siang bersama di tepi pantai karena Rindi ingin pergi ke pantai. Daffa terpaksa harus membawa bodyguard karena saat ini ia sungguh di kejar-kejar para wartawan karena kasus Ibunya itu yang terus mengatakan hal hal aneh di depan media.

Daffa terlihat santai saja menikmati makanannya, Rindi sibuk melihat handphonenya. Sejak semalam Rindi terus membaca berita tentang Daffa.

"Makanlah ini," Daffa menyuapi Rindi membuatnya menghentikan aktivitasnya memainkan handphone.

"Kamu baik-baik saja?" Daffa mengangkat kepalanya menatap Rindi di hadapannya.

"Ada apa? Aku baik-baik saja," ucapnya santai. Rindi bisa melihat ada beban dan rasa sakit di matanya.

"Aku selalu bersamamu," Rindi menggenggam tangan Daffa dan menyimpannya di dada. Daffa menatap Rindi dengan intens hingga dia tersenyum dan membelai pipi Rindi dengan lembut.

"Aku tidak salah memilih kamu," gumamnya.

"Sebaiknya kita makan dulu," ucap Rindi yang di angguki Daffa.

Tak lama televisi yang ada di sana menayangkan sosok ibu Daffa yang menangis. Rindi yang pertama melihatnya membuat Daffa menoleh menatap layar LED itu.

"Saya tidak menyangka putra yang saya besarkn dengan kedua tangan saya ini melawan saya dan lebih memilih wanita cacat itu." Isaknya.

"Seorang Ibu selalu ingin yang terbaik untuk anaknya. Selama ini saya ikhlas Daffa tidak mengakui saya di depan media sebagai Ibunya. Saya akan selalu mendoakannya untuk segala keberhasilan dan kesuksesannya. Saya terlalu menyayanginya sampai saya tidak ingin hal buruk menimpanya."

"Setidaknya dia datang kepada saya dan mengakui saya sebagai Ibunya. Dan kenalkan wanita pilihan dia kalau dia memang mencintainya, saya ingin dia meminta maaf sama saya."

"Saya tidak menginginkan harta dia, saya hanya ingin dia mengakui saya sebagai Ibunya. Sudah cukup penghinaan dan membangkangnya dia sama saya."

DifferenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang