Nayeon memandangi June dengan ekspresi terkejutnya. Bagaimana tidak? UN sudah lewat, sementara June masih duduk di bangku les sambil membaca buku-buku tebal yang tidak Nayeon ketahui apa isinya. Oh, tentu tentang pelajaran. Tapi buat apa? Ngapain?
"Biasa aja liat gue," ujar June pelan.
Menggelengkan kepala, Nayeon kembali duduk dengan tegap. "SBM masih lama kali, Jun," jawab Nayeon.
"Lama juga lo di sini."
"Persiapan ini namanya."
"Gue juga."
"Gak seserius itu kali?" Nayeon greget kepada June yang sudah 3 tahun belakangan ini menjadi teman dekatnya di tempat les.
Mengacuhkan omongan gadis tersebut, June mengisi beberapa soal yang ada di bukunya, mengabaikan Nayeon yang sudah memasang wajah kesal karena di acuhkan.
"Gagal move on nih, makanya jadi rajin banget?"
"Iye," jawab June mengangkat kepala. "Serah lo." Lanjutnya kemudian kembali menunduk.
Nayeon tertawa keras mendengar jawaban yang June lontarkan sembari mengeluarkan ponsel dan kembali bertanya, "Lo gak merasa bersalah apa?" tanyanya.
"Ngapain?"
"Mutusin dia."
"Gak ada yang perlu di sesalin, udah jalannya,"
"Huaaah!" Nayeon merenggangkan otot-otot tangannya dan berpikir kalau masih ada 15 menit sebelum les di mulai, lalu dengan cepat Nayeon menarik beberapa lembar buku June hingga robek.
June melotot melihat bukunya yang di robek oleh Nayeon, ia berdiri dan emosinya meluap, "Ngapain sih lo? Robek buku gue!" bentaknya.
"Gue juga tau kalo itu robek,"
"Songong lu. Cepet minta maaf!"
"Ngapain?"
"Lo ngerobek buku gue, Nay!"
"Ya terus?"
"Lo gak sadar? Gak nyesel nge—"
"Gak ada yang perlu di sesalin kali?" Nayeon tersenyum lebar setelah berhasil memotong ucapan June. "Udah jalannya," lanjutnya dan terkekeh.
"Gak lucu!"
"Siapa bilang lucu? Lo kali, ah, lucu."
June menghembuskan napas kasar dan kembali duduk di kursinya masih dengan wajah memerah emosi. Bisa-bisanya Nayeon membuat candaan dalam omongannya? Lagipula itu bukunya. Woi anjir mahal buku SBM, gue ngomong apa ke emak gue?
"Tau, kan, gimana rasanya kalo ada orang yang nyakitin lo terus gak mau minta maaf?" tanya Nayeon.
Ia langsung memandang mata Nayeon, namun enggan membalas pertanyaan tersebut.
"Buku SBM di sobek temen aja rasanya emosi, apalagi di putusin pacar."
-
Tidak seperti biasanya, hari ini Yeri terlihat berjalan kaki menuju halte dekat sekolah.
Yeri biasanya akan menelfon Jongin untuk meminta jemput namun ia berbohong pada kakaknya jika ia sedang ada kerja kelompok. Tadinya Doyeon sudah menawarkan Yeri untuk pulang bersama, dan lagi lagi Yeri berbohong kalau ia akan di jemput di halte oleh kakaknya. Entah, ia sendiri juga tidak paham mengapa ia memilih berbohong daripada mengatakan hal yang sejujurnya jika ia ingin pulang sendiri.
Dengan headset yang menggantung di telinga, Yeri berjalan dengan tatapan kosong.
Hingga sesampainya di halte, ia mengambil duduk dan masih melamun.
Gamon?
Gagal move on?
Yeri tertawa kecil, bahkan dia belum memutuskan untuk move.
Galau?
Tidak juga.
Tetapi Yeri merasa kalau apa yang ia alami ini seperti despresi.
It's like a desperate kind of love.
Lamunan Yeri terbuyar ketika ada seseorang yang menarik headsetnya, ia terkejut dan menoleh, dan semakin terkejut saat melihat orang tersebut.
"Kok gak pulang?"
Yeri masih terkejut melihat orang itu.
"Udah mau mahgrib," lanjut orang itu sesudah melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Nunggu busway." Akhirnya Yeri bersuara. Dan dengan susah payah setelah menelan ludah, ia bertanya, "Kak June sendiri ngapain disini?" tanyanya.
June duduk di samping Yeri. "Cari oksigen," jawabnya.
"Ooh."
Hening, keduanya tidak ada yang bersuara dan hanya ada suara kendaraan yang berlalu lalang di hadapan mereka.
Sementara Yeri sendiri sibuk menentukan fokusnya, pada lagu yang ia putar atau pada pikirannya. Pikirannya tiba-tiba kacau karena kehadiran June di sebelahnya.
Kemudian Yeri merasa headsetnya tertarik, ia menoleh dan mendapati June sedang memakai salah satu headsetnya yang tadinya June tarik. Keduanya berbagi musik melalui headset tersebut dan ketika lagu Despacito dari Justin Bieber itu selesai, Yeri meneriaki dirinya bodoh dalam hati karena lagu selanjutnya adalah The Scientist dari Coldplay.
"Emang gak ada oksigen ya di sana?"
"Dimana?"
"Gak jadi deh," Yeri membasahi bibirnya yang kering dengan salivanya.
Dan tiba-tiba Yeri teringat bahwa besok adalah tes SBMPTN.
"Besok itu, 'kan,"
"Iya, besok SBM." Potong June cepat, "Doain, ya, biar bisa masuk Arsi ITB," lanjutnya sembari menoleh ke Yeri dan tersenyum kecil.
"Amin," jawab Yeri.
"Besok mau lanjut kemana?"
"Kuliah?" tanya Yeri memastikan.
June menganggukkan kepalanya.
"Mau ke Psikologi UI aja, deket," balasnya.
"Belajar yang rajin, biar cita-citanya tercapai."
Yeri tersenyum mendengar ucapan June dan mengangguk, mengamini ucapan June dalam hati.
Lalu keduanya kembali terdiam. Tidak ada yang mau memulai percakapan lagi dan mereka berpikir kalau tidak ada yang bisa mereka obrolkan lagi. Menanyakan kabar?
"Maafin gue."
Yeri yang sudah membuka mulut untuk bersuara menanyakan kabar June itu terkejut.
"Gue egois selama ini," June mengigit bibir bawahnya. "Tapi... ya. You deserve better, that's why I've gave up on you," jelasnya.
"Apa yang bikin Kak June bilang kalo aku deserve better?"
"It because my selfish,"
"Dan kakak gak mau ngerubah itu?"
"Yer,"
"To be very honest," Yeri memotong ucapan June. "I don't even care about my feelings. But I do care about your future girl."
June sepenuhnya menoleh dan memandang Yeri yang ternyata sedang menatapinya. Ia bisa melihat mata Yeri yang menyorotkan keseriusan dan sama sekali tidak bercanda atas ucapannya.
"Aku gak mau orang lain ngalamin apa yang pernah aku alami, because it hurts."