June memandang ponselnya dengan sedih.
Seminggu sebelum keberangkatannya ke Bandung demi mengejar cita-cita, belum ada satu pesan pun dari Yeri untuknya. Terakhir kali Yeri mengiriminya pesan adalah hari dimana ia memutuskan gadis itu, cukup lama bahkan sebelum ia ujian nasional. Hampir 6 bulan, mungkin?
Jadi, apa judul bab ini?
Sedang mengharapkan pesan selamat tinggal dari mantan kekasih?
Hembusan napas kesal keluar dari bibir June ketika melihat Bobby menghabiskan Lays kesukaannya sembari menonton salah satu acara televisi. June memaki-maki Hanbin dalam hati, karena temannya itu sudah bertolak ke Jogja terlebih dahulu dan meninggalkan dirinya bersama seonggok manusia penuh dosa di sampingnya ini.
"Jadi cowok itu yang kece dikit," kata Bobby tanpa mengalihkan perhatiannya dari televisi. "Kalo kata Guru Biologi gua pas SD sih," ia memberi jeda. "Setelah sperma di tembakkan ke dalam rahim, kemudian sperma akan mencari dan mengejar sel telur." Lanjutnya.
"Otak lu reproduksi mulu."
Bobby menyengir mendengar ucapan June namun ia kembali menormalkan dirinya. "Intinya: cowok itu ngejar, sementara cewek itu nunggu. Tapi kalo elu bisa ngebuat dia nggak nunggu, konon katanya, lo dapet pahala,"
"Pahala dari mana?"
"Yang Maha Esa-lah!" jawab Bobby sewot. "Cewek kan pada benci nunggu, kalo lo gak bikin mereka nunggu, dia bakal seneng dong? Dan menyenangkan hati orang lain adalah pahala."
"Oh. Gitu."
"Plis deh, Net, elu jadi orang jangan pinter-pinter amat, goblok dikit kek."
"Goblok bangga," gumam June.
Bobby langsung melirik June dengan lirikan horrornya. "Pinter akademi itu biasa, kalo pinter memahami orang lain itu luar biasa." Ujarnya, "Emak gua yang mirip Malaikat Maut aja lebih seneng gua goblok gini asalkan gua bisa ngertiin orang di sekitar gua."
"Kebanyakan nonton kultum ramadhan ya lu?"
"Serius, Nyet."
"Gua juga."
"Mana serius lu, cok?" kesal Bobby dan membanting Lays-nya. "Kalo lo serius, kejar impian lo. Dan impian itu bukan cita-cita doang, tapi bahagia," lanjutnya.
June hanya diam, memasang wajah datar dan berusaha tidak peduli dengan segala ucapan temannya ini.
"Bahagia bukan lo keterima PTN, bukan dapet nilai UN paling tinggi tingkat nasional, dan bukan di beliin mobil pintu dua yang bisa di buat kebut-kebutan. Itu bukan bahagia tapi bangga," Bobby menolehkan kepalanya ke June dengan wajah serius. "Tapi bahagia itu juga bangga. Ketika lo bisa ngebuat Mama lo tersenyum karena hal kecil, ketika lo bisa kumpul bareng sobat bangsat lo setelah bertahun-tahun gak ketemu, dan jantung lo berdetak kencang dengan darah lo yang berdesir ketika liat orang yang lo cintai tersenyum karena lo. Itu bahagia sekaligus bangga yang sebenernya.
"Mungkin sekarang lo bisa merasa bahagia karena lo keterima PTN impian lo, tapi itu cuman kebanggaan dan kebahagiaan yang sementara."
"Sok melankolis lo," komentar June.
Bobby menghela napas, enggan membalas komentar tersebut. Tenggorokannya mengering rasanya setelah memberikan ceramah.
"Bob?"
"Hm?"
"Kenapa lo pengen bikin gue balik sama Yeri?"
"Karena lo sayang sama dia, Net."
"Tapi waktu gue putus sama Seol, lo nggak se-puitis ini," kata June.
"Lo nggak ngerasain sesuatu?" tanya Bobby dan di balas gelengan. "Selama lo taken, gue gak pernah liat lo senyum selebar ketika lo ngumumin hari jadi kalian pertama kali."
"Lo merhatiin gue?"
Nada geli pada pertanyaan June membuat Bobby tersenyum kecil. "Gua ngerti kalo orang-orang di luar anggep gue goblok gak punya otak dan ngandelin duit buyut gua, tapi gua masih punya mata ama perasaan buat ngecerna," balasnya.
Dan June mengakuinya.
Selama 15 tahun berteman dengan Bobby dan Hanbin, sebenarnya June kurang menyukai Bobby yang terkenal dengan peringkat pertama (dari akhir) namun lama kelamaan perasaan tidak suka June hilang ketika Bobby yang selalu ada dan sering membuat kekonyolan saat ia maupun Hanbin sedang bersedih.
Seperti pada saat Papa June meninggal, Bobby akan berdiri di belakangnya sementara Hanbin di sampingnya. Mungkin kalian pada bingung, tapi dengan umur baru menginjak 10 tahun, saat itu Bobby berujar dan June masih ingat.
"Aku di belakang aja soalnya aku jelek dan sering malu-maluin kalian, lagian di belakang juga enak, kalo kalian jatoh nanti kita jatoh barengan. Gapapa aku ketiban kalian, aku sering di jadiin kasur sama Mas David,"
Dari situ, June mengerti. Menyayangi orang itu tidak perlu untuk berada di sampingnya namun cukup di belakangnya, dengan bermodal mata dan perasaan kemudian berjaga agar orang yang kita sayangi tidak terluka karena kita ada di belakang mereka siap menerima kesedihan mereka.
Sesimple itu pikiran seorang Bobby semasa kecil.
"Lo itu terlalu cuek, Net," kata Bobby dan berhasil membuyarkan lamunannya. "Saking cueknya, lo bingung ama perasaan lo."
"Tapi gue udah di tolak sama dia."
"Dan lo nyerah gitu aja?"
"Dia nggak bisa."
"Selagi belom ada yang baru di hati dia dan janur kuning belom melengkung, gue rasa it's okay deh,"
"But I don't deserve her, dude. At all."
"It's not about what you deserve, man," kata Bobby seraya menepuk pundak June pelan. "But it's about what you believe." Lanjutnya dan tersenyum, hingga matanya membentuk bulan sabit.
Kemudian mereka kembali menonton televisi yang tadinya mereka abaikan. Walaupun mata mereka memandangi sosok MC yang muncul di layar itu, tentu pikiran mereka sedang melayang—entah kemana, namun mereka hanya berharap semoga mereka dapat menerima apapun yang terjadi nanti.
[][][]
Minal aidzin wal faidzin, walaupun belum lebaran (tapi sudah D-2 atau 3 nih?) maafin gue yang suka mager buka works dan gantungin lama banget karena sibuk dan males hehehehe bagi anak RP di sini yang baca, semoga abis lebaran cepet leave ya HAHAHAHAHAHA oke, dah.
Oiya, semoga part ini bisa mengajarkan kalian bagaimana cara menyayangi teman. Salam bros before hoes!
