JUNE
Gue bukan cowok yang suka membaca buku seperti Jinhwan–ketua kelas gue, atau cowok penggemar film seperti Hanbin, maupun penggemar berat musik indie seperti Bobby. Gue netral, dan gue suka itu; semua gue lakukan dengan imbang. Mungkin gue juga enggak mengidolakan John Green, Leonardo D'Caprio, dan The 1975 seperti mereka tapi gue tahu semua tema mereka.
Kesedihan.
Oke sebut gue sok tahu, tapi begitulah yang gue lihat ketika Jinhwan selesai membaca novelnya. Jinhwan bakal merasa senang karena bacaannya selesai, namun dia bakal merasa kurang puas karena salah satu tokohnya tidak berakhir bahagia, salah satunya ketika August meninggalkan Hazel terlebih dulu. Kemudian Hanbin yang sangat terobsesi dengan film 'Titanic', coba lihat? Pada akhirnya Rose hidup sendiri tanpa Jack. Sementara Bobby yang selalu mendengarkan Somebody Else ketika ia berada di dalam mobilnya. Dan gue? Gue tidak pernah membaca, menonton, dan mendengarkan.
Mbak Yejin bilang, gue terlalu cuek. Gue gak pernah menyukai dan menyayangi sesuatu sampai akhir, makanya orang-orang di sekitar gue–kecuali sohib–suka menilai gue sebagai good boy bad boy.
Good boy, karena gue termasuk golongan siswa yang di sukai guru; mungkin kepintaran gue. Sementara, bad boy, gue terkenal sebagai cowok angkuh yang tidak pernah melihat orang-orang di sekitar gue.
Iya, gue pintar tapi tidak beretika.
"Jun, nanti bantu gue kumpulin formulir UKM Fotografi yang ada di Perpus, ya?" Gue melirik sekilas, orang yang mengajak gue ngomong itu kini menatap jam tangannya. "Gue ada kelas jam 2 siang, mepet banget kalo gue harus balik ke mabes lagi."
Gue mengangguk, "Sekarang?" tanya gue memastikan. Karena 20 menit lagi udah jam 2 siang.
"Iya, harus cepet-cepet. Gue ada kuis juga,"
Setelah berujar seperti itu, kita beranjak keluar dari kantin dan berjalan cepat menuju Perpus yang letaknya jauh banget. Ada kali setengah kilo? Sementara nanti dia ke mabes dulu, tempatnya di deket sini sih, tapi tetep aja muter-muter.
"Udah, Lis, lo kelas aja dulu. Gue urusin formulir UKM nya," sahut gue mencegah langkahnya yang akan pergi ke parkiran untuk mengambil motor bebeknya.
Dia salah satu teman gue dari UKM Fotografi, cewek, namanya Resandriana Lalisa. Anaknya tomboy tapi artsy banget, Hanbin pernah gue kasih fotonya dan klepek-klepek pada pandangan pertama. Anak Teknik Sipil yang ngakunya salah jurusan tapi suka banget jadi tukang-tukang. Hampir 3 tahun gue kenal sama dia, susah-seneng sama dia dan gue sama sekali gak permasalahkan perbedaan kelamin gue dengan Lisa karena kita sudah berada di our comfrot zone. Maksudnya masih batas wajar, bukan di luar batas juga.
"Gitu kek dari tadi!" pekiknya ketus, kemudian ia menyerahkan kotak yang ia bawa sedari tadi, "buat naroh formulirnya, yang rapi, oke?" pesannya.
"Ho, oh."
"Dah, gue kelas dulu. Jangan lupa makan lo, anak kos!" pesannya sebelum berlari menuju gedung fakultasnya, meninggalkan gue yang tersenyum kecil di tempat tadi.
Lalu gue beranjak ke parkiran untuk mengambil mobil dan pergi ke Perpus, tapi sebelum gue benar-benar masuk ke mobil, seseorang memanggil nama gue.
"JUNEEET! MANEH MO KAMANA?" Gue menghela napas mendengar logat Sunda bercampur logat sok gaulnya itu.
Hampir gue mau pura-pura gak denger dan beneran mau masuk mobil, seseorang dengan cepat menarik kaos gue-membuat tubuh gue terhuyung ke belakang dan mau tidak mau harus memandangnya.