Dua

6.6K 713 1
                                    

HANA berjalan mengendap-endap melewati ruang tengah yang gelap gulita. Gadis itu berusaha berjalan tanpa mengeluarkan sedikitpun suara. Sepatu berhak yang tadi ia gunakanpun telah dilepas dan kini ia tenteng di tangan kirinya. Semua ini ia lakukan agar dirinya tidak menimbulkan suara yang dapat mengganggu tidur ibunya. Beruntunglah sang ayah masih berada di luar kota, sehingga dirinya tidak perlu merasa begitu takut karena kalau ibunya marah tidak akan seganas sang ayah.

Klik!

Ruangan yang tadinya gelap gulita menjadi terang benderang saat saklar lampu dinyalakan oleh seseorang. Hana menepuk dahinya kemudian menoleh ke belakang, ke arah sang kakak yang ternyata si pelaku—yang seenaknya menyalakan lampu.

Oppa, matikan lampunya. Aku takut eomma tahu,” ucapnya dengan suara berbisik.

Kim Hee Seung—kakaknya—mengedikkan dagunya ke arah sofa ruang tengah. Saat Hana berbalik, di lihatnya ayah dan ibunya duduk berdampingan. Ayahnya menatap Hana dengan tatapan marah sedangkan ibunya menatap Hana dengan gelengan kepala.

“Astaga, appa sudah pulang. Ah, matilah aku,” gumam Hana pelan.

“Dari mana kau, gadis nakal?” Tanya Tuan Kim. Hana merutuk dalam hati karena setahunya sang ayah akan kembali ke rumah besok. Tapi kenapa sekarang beliau sudah berada di rumah? Hah, sudah pasti setelah ini Hana akan mendapatkan hukuman.

“Dari pesta ulang tahun temanku,” jawab Hana jujur, gadis itu menunduk.

“Kenapa malam sekali? Kenapa kau harus menggunakan pakaian minim seperti itu? Bukankah kau mempunyai gaun yang lebih sopan?” Tanya Tuan Kim tajam.

“Tadi saat kau pergi, bukannya kau hanya izin ke rumah Naeun? Dan soal pakaian, eomma masih ingat jelas kau pergi menggunakan jeans dan kaus saja. Kenapa kau pulang dalam keadaan seperti ini?” Sambung Nyonya Kim menyuarakan keheranannya.

Hana merasa kalah telak. Apa yang di tanyakan ayah dan ibunya membuat ia bungkam. Seharusnya ia pulang dengan keadaan memakai baju yang tadi ia kenakan, bukannya pulang dalam keadaan balutan gaun ketat seperti ini. Ah, sekarang ia benar-benar merasa bingung harus menjawab apa. Kemudian ia berbalik menatap kakaknya yang masih setia bersandar di dinding dekat saklar lampu.

Oppa, tolong aku...” ucap Hana tanpa suara. Tapi kakaknya malah menggedikkan bahunya acuh.

Akhirnya, mau tidak mau Hana berkata jujur. Tapi ia tidak menyebutkan tempat dimana temannya merayakan pesta ulang tahunnya itu. Karena kalau ia jujur tentang klub malamlah yang di jadikan tempat merayakan, sudah pasti hukumannya akan bertambah berat nanti.

“Iya, aku berbohong karena takut eomma tidak akan mengizinkanku. Soal pakaian, aku memang menggantinya di rumah Naeun. Sebelumnya aku sudah menyimpan baju ini di rumah Naeun setelah pulang dari kampus kemarin.” Jelas Hana tak sepenuhnya jujur.

“Kenapa kau harus berbohong Hana? Sepanjang kau hidup, appa tidak pernah mengajarkanmu berbohong. Lagi pula, apa salahnya kau meminta izin? Bukannya itu hal yang mudah?”

Hana semakin menunduk mendengar penuturan ayahnya. Iya, dirinya merasa bersalah sekarang. Tidak seharusnya ia berbuat seperti ini. Argh, besok Hana akan langsung memarahi Naeun. Karena ulah gadis itu, sekarang dirinya terancam terkena hukuman.

“Kau sudah dewasa, Hana. Sudah waktunya kau berhenti dengan segala sikap santai dan tidak pedulimu. Usiamu juga sudah cukup untuk menikah.”

“Apa? Menikah?” Ulang Hana tak percaya. Gadis itu mendongak dengan mata yang membulat.

Tuan Kim mengangguk mantap. “Iya, sepertinya appa akan mencarikanmu lelaki dan akan menjodohkannya denganmu. Ini appa lakukan karena appa sayang kepadamu. Appa tidak ingin kau semakin terjerumus ke hal-hal yang negatif lainnya.” Ucap Tuan Kim lantang dan pasti.

“Tapi Heeseung oppa belum menikah,” sahut Hana tidak setuju. “Harusnya dia dulu yang menikah, baru aku.”

“Dia lebih bisa mengatur hidupnya daripada dirimu, Hana. Heeseung pintar membagi dan memanfaatkan waktu. Tidak sepertimu yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain dengan Naeun, atau berkelahi dengan Yoongi.” Jelas Tuan Kim. Terlihat sekali wajah lelah ayahnya. Hal itu membuat Hana semakin merasa bersalah.

“Tapi ap—”

“Tolong, untuk kali ini jangan membantah, Hana. Cukup sampai di sini kau menjadi gadis pembangkang.”

Hana tidak terima di sebut dengan gadis pembangkang. Ia menatap ibunya dengan tatapan memohon, tapi ibunya malah menggeleng seolah tidak mau membantu. Kemudian ia berbalik, menghampiri Heeseung dan memeluknya erat seraya merengek minta bantuan.

Oppa! Tolong katakan kepada appa supaya tidak melakukan apa yang ia ucapkan tadi. Aku tidak mau menikah di usia muda...” Hana merengek sebisanya. Gadis itu sudah mengeluarkan air matanya tetapi Heeseung tidak juga merespon. “Oppa!”

“Ikutilah perintah appa, itu lebih baik, bukan?”

Hana reflek melepas pelukannya. Ia mendongak untuk menatap wajah Heeseung. Gadis itu mencebikkan bibirnya. “Kenapa tidak ada yang mau membelaku? Ini tidak adil!”

Hana menghentakkan kakinya. Kemudian ia berjalan menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan anggota keluarganya yang lain. Saking kesalnya, ia melempar sepasang sepatu yang ia tenteng. Lantas ia membanting pintu kamar sekeras-kerasnya hingga ketiga orang di bawah terlonjak kaget.

DI LAIN TEMPAT...

Yoongi mengacak rambutnya frustasi. Kepalanya terasa berdenyut-denyut sekarang. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur seraya memikirkan bagaimana caranya ia bisa terbebas dari hukuman ayahnya. Iya, ia tertangkap basah pulang malam lagi. Padahal ia sudah pernah berjanji untuk tidak pulang malam pada ayahnya. Tapi malam ini ia ketahuan melanggar janjinya. Jadi, ia di beri hukuman oleh ayahnya. Ponsel dan kartu atm-nya di sita oleh sang ayah.

“Aku sudah besar, appa. Aku sudah bisa mencari uang sendiri, ponsel itu juga aku beli dengan uangku sendiri. Jadi, tolong kembalikan lah ponselku.” Itu adalah pembelaan Yoongi di depan ayahnya tadi. Tapi parahnya, sang ayah tidak mau mendengarkan.

“Appa akan mengembalikan ini nanti, setelah kau berubah menjadi lelaki bertanggung jawab yang tidak dengan seenaknya membuang-buang uang demi kesenangan.” Dan ucapan itu adalah ucapan terakhir ayahnya sebelum beliau memasuki kamar beserta ibunya yang sedari tadi hanya menjadi penonton.

Yoongi mendengus keras-keras. Apalagi saat ayahnya membawa-bawa masalah pernikahan dan apalah itu. Yoongi paling tidak suka membahas hal seperti itu. Karena saat ini ia belum mau terikat dengan perempuan manapun. Ia masih ingin menikmati masa mudanya tanpa gangguan perempuan yang menyebalkan. Apalagi perempuannya semacam Hana. Yoongi tidak mau.

Aish, kenapa nama Hana yang muncul di otaknya? Kenapa bukan Sung Gi atau yang lain? Astaga, pasti jawabannya karena Hana-lah yang paling menyebalkan. Iya, Hana menyebalkan. Karena rencananya untuk pulang pagi hari gagal karena harus mengantar gadis itu pulang. Ya, walaupun tidak ada salahnya juga karena rumah mereka bertetangga.

Omong-omong, Yoongi tidak suka menyebut Hana sebagai tetangga. Mana ada tetangga yang selalu mencari masalah dengan tetangganya yang lain? Mungkin hanya Hana jawabannya. Argh, Yoongi pusing. Sudah pusing memikirkan masalah ponsel dan kartu atm-nya, di tambah dengan nama Hana yang tiba-tiba muncul di pikirannya.

Sepertinya Yoongi kurang tidur akhir-akhir ini. Jadi yang Yoongi lakukan setelahnya adalah memejamkan matanya erat-erat dan mulai menyelami alam mimpi.

[]

Baby •myg•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang