Kelopak mata Shayla terbuka perlahan ketika dia merasakan cahaya matahari menembus tirai transparan dari jendela besar di kamarnya.
Shayla masih terdiam di posisinya. Berbaring ke kanan dan menatap kosong ke bantal di sampingnya.
Seprai kasur yang ditiduri Shayla sudah berantakan karena percintaan panas mereka semalam.
Mengingat itu, air mata Shayla kembali menetes perlahan, kembali membasahi bantal, sama seperti tadi malam.
Saat Max merengkuhnya, mencumbunya, dan menyentuh setiap bagian tubuhnya, Shayla merasa kosong. Sudah tidak ada lagi perasaan bahagia, memiliki, dan perasaan puas. Kini Shayla tahu, dia hanyalah objek semu bagi Max.
Objek semu yang hanya digunakan lelaki itu untuk kepuasan materil dan hasrat lelaki itu.
Shayla terisak perlahan, meremas selimut yang menutupi dadanya. Tapi kemudian isakan itu terhenti ketika dia menyadari bahwa Max mungkin masih ada di ruangan ini, dan bila Max melihat Shayla yang terlihat menyedihkan seperti ini, Max akan memasang wajah iba dan bersalah.
Maka dari itu Shayla terduduk, masih sambil menggenggam selimut untuk menutupi tubuh polosnya.
"Max?" Shayla sedikit berteriak, melongokkan kepala kearah pintu yang sedikit terbuka. "Max?"
Tidak ada jawaban, Shayla berdiri dari kasur dengan tubuh telanjang lalu segera mengambil kamisol dan memakainya.
Seolah baru tersadar, tubuh Shayla kemudian menegak, pandangannya berkeliling dengan cepat memperhatikan keadaan kamar, kemudian dirinya tertegun ketika melihat semua perlengkapan Max di kamar itu sudah tidak ada.
Koper Max sudah tidak ada, meja kerja lelaki itu sudah rapi dari tumpukan berkas dan laptop yang selalu berada di atas meja itu.
Dengan cepat Shayla membuka almari kamarnya dan kemudian bahunya merosot turun ketika yang tersisa hanyalah baju-baju dan sepatu Shayla.
"Max?" Shayla masih meneriakan nama Max, berkeliling kamar dengan cemas, masih berharap Max disini dan tidak pergi meninggalkannya begitu saja.
Tapi sepertinya harapan Shayla musnah ketika dia melihat sticky note yang tertempel di meja makan.
Pekerjaanku menumpuk di London, aku harus segera pulang. Maaf tidak memberitahu dan mengajakmu pulang bersama, Shayla. Aku pikir, mungkin kau butuh waktu sendiri di Bali sebelum kau kembali ke rumah.
Max.
"Rumah?" Shayla tersenyum miris, meremas Note itu dan kemudian membuangnya ke tempat sampah.
Dengan kesal Shayla membuka kulkas dan mengambil sekaling bir dingin dan meneguknya.
"Bukankah rumah adalah suatu hunian yang nyaman, Max?" Shayla meneguk bir itu lagi. "Bila kau akan bilang London dan kau adalah rumahku, maka kau salah besar. Nyatanya, aku membenci rumah yang kau maksud!"
Bagus! Sekaleng bir simpanan Max di pagi hari membuat Shayla terasa pening dan pikirannya kemana-mana.
Bir pertama telah habis, dia kembali berjalan ke dapur dan mengambil bir lagi, lalu berjalan kearah balkon. Menatap pemandangan pantai dan para turis yang bermain air disana.
Shayla tersenyum senang melihat kebahagiaan para turis itu, mereka pasti bahagia menikmati liburannya. Sama seperti Shayla beberapa hari yang lalu, ketika dia belum mengetahui bahwa Max dan Angela mengkhianatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wedding And Secret
RomanceMax dan Shayla awalnya menikah karena terpaksa. Namun juga banyak rahasia di dalam pernikahan mereka berdua.