"Pak, hari ini Diba mau jenguk temen di rumah sakit. Ikut bapak sekalian pergi kerja boleh ya pak?" Tanyaku di sela waktu makan siang kami. Dapat ku lihat bapak dan ibu terlihat kebingungan dari cara mereka menatap satu sama lain.
"Em, boleh. Emang siapa teman kamu yang sakit?" Tanya bapak. Ibu juga terlihat penasaran menunggu jawabanku.
Jangan heran kenapa mereka begitu bingung ketika mendengar permintaanku. Karena mereka tahu aku tidak mempunyai banyak teman. Selain karena aku yang kutu buku, aku memang sedikit sulit membuka ruang lingkup pertemananku.
"Scope. Alerginya kambuh lagi." Sorry Scope, aku harus menjadikan mu tumbal lagi.
"Scope? Alergi kacangnya kambuh?" Ibu terlihat sangat penasaran, dia bahkan meletakkan sendok dan garpunya di piring sambil menunggu jawabanku.
"Atau alergi daging dan telurnya?" Sambung bapak. Yaps, Scope memiliki banyak alergi.
"Eh, gak tau. Mungkin alergi susunya. Atau mungkin ketiganya." Jawabku berbohong sambil memasukan makanan ke mulutku agar mereka tidak mencurigaiku.
"Kasian banget. Yaudah nanti Diba ikut bapak deh sekalian berangkat kerja." Akhirnya ibu mempercayaiku. Kata-kata itu juga yang menjadi percakapan terakhir kami di meja makan pagi ini. Segera aku memasuki mobil bapakku, tak sabar untuk melihat keadaan Jake di rumah sakit.
Dua puluh menit kemudian kami telah sampai di depan sebuah rumah sakit tempat Jake dirawat. "Diba, bapak langsung aja ya. Sudah telat nih soalnya. Salam ke Scope dan ibunya."
"Iya pak. Nanti Diba bisa pulang sendiri kok. Hati-hati ya pak." Kataku sambil mencium punggung tangan bapakku.
Tidak lama setelah aku keluar dari mobilnya, bapak langsung melaju meninggalkan rumah sakit. Sedangkan aku berusaha mencari tempat resepsionis untuk menanyakan dimana ruangan Jake. Dua belokan ke kanan dan aku menemukannya.
Lantai ketiga, kamar ketujuh.
Aku menaiki lift khusus pengunjung yang berada tak jauh dari tempatku berdiri. Tak lama kemudian pintu lift terbuka pada lantai ketiga. Aku melangkahkan kakiku keluar, memperhatikan setiap nomor yang tertera pada pintu ruang rawat pasien. Kamar nomor tujuh, ini dia.
Aku menghentikan gerakanku tepat pada saat tanganku baru saja menyentuh gagang pintunya. Ada seseorang di sana bersama Jake. Mereka terlihat sedang berbicara serius. Aku bisa melihat wajah Jake yang mulai membaik, terdapat beberapa memar, namun tak separah pada saat aku melihat darah mengalir dari beberapa titik di wajahnya.
Penasaran dengan apa yang mereka bicarakan, perlahan aku membuka pintunya. Sangat perlahan, agar tidak ada suara yang timbul. Setidaknya ada celah agar aku bisa mendengar apa yang mereka katakan.
"Thank you so much for helping me. You know I need the money." Kata Jake sambil tersenyum ke seseorang tersebut.
Seseorang itu duduk di sebelah ranjang yang sedang ditempati oleh Jake, membelakangi ku yanh sedang menguping di luar ruangan memanfaatkan celah dari pintu yang kubuka layaknya seorang mata-mata tadi. Dia menggunakan hoodie berwarna hitam, dengan tutup kepala yang menutupi kepalanya, celana jeans, dan sepatu converse.
Seseorang itu mengangguk ke arah Jake, "Sorry for being too hard, need to make my dad believes."
Apa maksud dari perkataannya? Siapa dia? Apakah dia Dylan? Maksudku, .ereka membicarakan tentang uang. Ayah Dylan memberikan mereka uang sebagai uang ganti rugi.
"Gotta go. Someone's on the door. She might be missing you bro."
Damn! Bagaimana dia tau?
Seseorang itu menepuk bahu Jake lalu berdiri dari tempat duduknya. Ia berbalik arah, dan ya, benar apa yang ku kira. Dia Dylan.
Dia melangkah ke arahku. Ke arah pintu keluar lebih tepatnya. Aku melepaskan gagang pintu yang kupegangi sejak tadi, lalu aku melangkah mundur membiarkan dia lewat. Dia membuka pintunya, aku tertunduk, menyembunyikan wajah maluku. Dia mendapatiku sedang menguping percakapannya, bagaimana aku tidak malu?
Tapi sial. Dia tidak berlalu begitu saja. Dia berhenti tepat di depan ku. Aku semakin menunduk, yang bisa ku lihat saat ini hanyalah sepatuku dan sepatunya, dan seberapa dekat jaraknya dari ku. Beberapa detik dan dia tetap tidak beranjak dari tempatnya, seakan dia menunggu ku untuk menatapnya. Baiklah, akan ku lakukan apa yang dia inginkan.
Aku menaikan pandanganku. Dia sedikit lebih tinggi dari ku, membuat aku merasa kecil di hadapannya. Aku menatapnya, menatap wajah datarnya dengan mata yang seakan menelanjangi ku saat ini. Tiga detik kemudian, dia berbalik. Berjalan meninggalkanku.
![](https://img.wattpad.com/cover/95526935-288-k801990.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Masochist (gxg)
RomanceTidak peduli apa yang telah dia katakan padaku. Tidak peduli apa yang telah dia lakukan padaku. Yang ku tahu hanyalah, aku menginginkannya terus begitu. Aku, tidak ingin dia berhenti. [Cerita Lanjutan dari Is It a Wrong Love]