Bagian tanpa judul 34

2.3K 284 11
                                    

Suatu malam di penghujung musim gugur, aku terlelap sangat nyaman di bawah 3 lapisan selimut. Sebelumnya aku telah berendam di dalam air hangat selama belasan menit, meminum teh hangat buatan ibu, dan mengatur suhu ruangan sedemikian rupa agar tidak terlalu hangat dan juga tidak terlalu dingin.

Tidurku nyenyak karena aku menyukai dingin, hingga suhu yang lebih hangat membalut tubuhku. “Kamu suka dingin. Aku baru tau.” suara bisikan terdengar di telingaku. Ku rasakan sesuatu menjalar ke perut dan leherku, hangat. “Adiba, bangun.” sekarang bisikannya terasa tepat di samping telingaku, napasnya terasa hangat menepis pipiku. Aku terlalu mengantuk, mataku terasa lengket dan sedikit perih ketika aku berusaha membukanya.

“Adiba? Adibaaaa?” kali ini tubuhku terguncang, membuat kesadaranku semakin bertambah. “Apasih?!” bentakku berusaha melepaskan entah apa yang terasa hangat di sekeliling tubuhku. “Katanya kangen, didatangin malah marah-marah.” Suaranya mulai terdengar jelas, Dylan?

Ku paksakan membuka mataku, aroma tubuhnya mulai bisa ku cium. Tangan melingkar di leher dan perutku, kakinya mengunci kakiku. Ketika aku menoleh, Dylan mencium keningku, aku tidak menolak maupun memberontak. Dia mengeratkan jalaran nya padaku, tanpa melepaskan ciumannya.

“Kemana aja?” aku melemahkan suara dan tubuhku yang seakan telah merekat dengannya. Dilepaskannya tangannya yang sejak tadi melingkar di leherku, lalu menopangkan kepalanya di atas tangannya, membuatku bisa menatap wajahnya lebih jelas. Sedangkan tangan satunya yang tadi berada di perutku kini mulai mengelus lembut pipiku, “Adiba cantik.” katanya -yang entah sudah keberapa kali dia mengatakan hal yang sama selama ini, namun masih tidak ku percayai- sambil menatap mataku.

“What is love, Adiba?” pandangan matanya teralihkan, kini dia menatap rambutku.

“Kenapa? Kok tumben tanya nya gitu?” aku masih memperhatikannya, mencoba menangkap pandangan matanya namun yang ku dapat hanya sedikit guratan di antara alisnya dan pandangan matanya yang kini mulai diselingi beberapa kedipan.

“Aku cinta kamu. And that’s true.” Dia kembali menatap mataku dengan mantap. Aku masih belum berkomentar, aku tahu ada banyak hal yang ingin dikatakannya. “Before you ... There was a girl.” Perkataannya terhenti, pandangannya teralihkan lagi, terlihat dia menelan air liurnya.

Ku sentuh pipinya yang mulai terasa dingin, dengan nada suara selembut mungkin aku berusaha menenangkannya, “Dylan, gak apa. Kalau kamu mau cerita, silakan, aku bakal dengarin kamu. Tapi kalau kamu gak mau, atau belum siap, juga gak apa. Aku gak bakal maksa kamu untuk menguak masa lalumu kembali kalau itu cuma nyakitin kamu.” jelasku.

“Gamar. Namanya Gamar.” aku terdiam, entah mengapa hatiku teriris sedangkan Dylan terlihat semakin tidak nyaman. “Aku ke Indonesia. Mbok bilang Gamar pulang ke Bandung dari Jogja. I need to see her. Aku harus ketemu dia lagi walaupun itu yang terakhir kalinya di hidupku. Aku pulang ke Bandung, dan aku gak punya keberanian untuk berhadapan langsung dengan dia. Aku cuma ngeliat dia jauh dari jendela kamarku, sepecundang itu! Dia terlihat sama. Rambut hitam terpekat yang pernah ku lihat, bergelombang, alisnya tebal, dan jarang senyum. Orang-orang pasti berpikir dia jahat karena raut wajahnya yang seperti itu, tapi dia baik. Dia baik.” Dylan tersenyum, aku menarik napas panjang berusaha stabil dan rasional.

“Dia mantannya Dylan?” tanyaku masih mempertahankan nada bicara yang ku tahu sangat disukai Dylan.

“Bukan. Dia bahkan gak tau kalau aku suka dia.”

“Jadi siapa? Kok bisa kenal?”

“Kakak kelas, dan ternyata tetangga.”

“Oh, terakhir ketemunya kapan?”

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang