Bagian tanpa judul 31

3.1K 310 15
                                    

"Dek, apa perlu ya kamu pindah sekolah? Soalnya sekolah kamu sudah gak aman." kata Bapak dicelah makan malam -yang dilakukan pada jam 5 sore- kami.

"Iya tuh. Atau kamu balik aja ke Indonesia sama Nenek? Soalnya sudah beberapa kali kasus penembakan di sekolah di negara ini." sambung Ibuku. Aku yang masih mengunyah makananku hanya menggelengkan kepala.

"Yakin kamu? Bapak sama Ibu takut loh, apalagi kamu sempat kena tembakannya kan." sambung Ibu.

"Yakin bu. Lagian pelurunya cuma nyerempet dikit doang. Ada Dylan juga yang ngelindungin Diba."

"Si Dylan itu, anaknya baik ternyata. Bapak kira dia anaknya sombong yang gak level berteman sama anak biasa gitu."

"Iya loh, Ibu juga mikirnya gitu. Tapi dia rela mati untuk Diba loh Pak, buktinya dia kasih rompi anti pelurunya ke Diba. Terus juga kan, itu, orang gila yang nembak itu tembakannya meleset karena Dylan."

"Ah jangan berlebihan gitu Bu." kataku berusaha menyudahi pujian-pujian yang dilontarkan kedua orang tuaku untuk Dylan, yang mana hal itu membuat ku merasa semakin beruntung karena aku memiliki Dylan.

"Yaudah kamu selesain makannya, habis itu antarin pesanan Ibu ke Dylan. Bilang makasih ke dia juga jangan lupa ya." aku hanya mengangguk, mengiyakan permintaan Ibuku. Sebelumnya Ibuku telah memasakan masakan khas Indonesia yang katanya adalah kesukaan Dylan, entah ia mendapatkan informasi itu darimana.

Seusai makan malam, aku meminjam mobil Bapak untuk pergi ke rumah Dylan. Seperti biasa, patung-patung berjas rapi yang selalu menyambutku. Menurutku rumah Dylan di Indonesia lebih nyaman dibanding di sini. Di Bandung, akan ada satpam yang ramah dan penuh candaan, supir yang ramah, dan bibi yang ku ketahui sudah sangat akrab dengan Dylan.

"Dylan?" panggilku saat membuka pintu kamarnya. Dan dia selalu berada di dalam kamarnya, entah kapan dia keluar, mungkin hanya ketika bersekolah.

Dia sepertinya baru saja selesai mandi. Rambutnya masih acak-acakan dan sedikit basah, sebuah handuk di tangannya. "Adiba?!" dia mendatangiku dan langsung memelukku, dia memperlakukanku seperti orang yang sudah tidak ditemuinya selama bertahun-tahun.

"Can i kiss you?" tanyanya. Aku hanya terdiam, bingung dengan sikapnya yang agresif. Tapi dia tetap menantikan jawabanku, selama apapun aku tidak menjawabnya.

"No, Dylan." jawabku yang diikuti dengan perubahan ekspresi wajahnya.

"Kenapa?"

"Gak apa. Gak boleh."

Dia terdiam, sedikit menunduk namun kedua tangannya tetap memelukku. "Ini dari Ibu." ku perlihatkan susunan rantang yang ku bawa. Seketika ekspresinya kembali berubah, pupil matanya sedikit melebar beriringan dengan senyumannya.

"Yeash!" dia mengambil rantang tersebut dari tanganku, membawanya keluar kamar. Entah mengapa, tapi dia selalu saja meninggalkanku di saat dia mendapatkan sesuatu yang dia sukai. Aku mengikutinya yang mengarah ke dapur.

Diletakkannya rantang itu di atas meja, sebuah sendok telah siap di tangannya, namun dia hanya menatap rantang tersebut dengan bingung. "Kenapa?" tanyaku. "Bukanya gimana?" aku hanya tertawa kecil, bukan hal biasa menemui Dylan yang masih bingung dengan kearifan lokal. Ku bukakan rantangnya, lalu kesusun setiap tingkat di hadapannya. Ada perkedel kentang, oseng kentang, sayur kangkung, dan rendang. Aku mengkerutkan dahiku, "Dylan suka ini semua?"

Dia hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum lebar ke arah semua makanannya. "Kok Ibu aku tau kalau Dylan suka ini? Dapatnya dimana lagi, kan susah carinya."

"Ibunya Adiba telepon Dylan. Terus Dylan ngomong. Peny yang beli bahan-bahan nya. Tadi Adiba makan ini juga?" dia menoleh ke arahku, masih dengan matanya yang berbinar-binar. She's so damn beautiful. Sumpah. "Peny siapa? Enggak, tadi Adiba makannya bukan ini."

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang