Epilog

4.8K 270 22
                                    

Kali ini dia menatap tajam ke arah sahabatku, mungkin sedari tadi ia menatap matanya bukan malah memperhatikan apa yang dipresentasikan oleh Mirna. Terlihat Mirna sedikit mengurangi frekuensinya memandang kami karena pasti dia merasa grogi ditatap seperti itu oleh Dylan.

Tak lama kemudian Mirna menutup presentasinya, kami semua bertepuk tangan kecuali Dylan. Dia masih sesombong itu. Sudah kah ku sebutkan bahwa dia merupakan satu-satunya perempuan di antara rekan koleganya? Selain itu dia juga yang paling muda.

Ketika kami semua mengenakan seragam yang rapi, dia mengenakan kaus oblong berwarna hitam polos dan ripped jeans. Rambutnya yang bergelombang dibiarkan menjulur ke bawah. Tidak akan ada yang mengira bahwa dia adalah pimpinan tertinggi dari suatu perusahaan terbesar di Indonesia, bukan?

Dia menandatangani beberapa lembar berkas kami, artinya dia setuju untuk bekerja sama dengan kami. Mirna yang sudah duduk di sampingku, memberikanku kode dengan cara menyikut-nyikut lenganku. Dia senang bukan kepalang karena telah berhasil menjalin hubungan kerja sama dengan perusahaan Dylan. Biasanya akan ada beberapa omongan kecil yang diberikan pihak perusahaan kepada kami sebelum menyetujui kontrak kerja sama, Dylan berbeda.

Setelah menyelesaikan tanda tangannya, dia bangkit dari duduknya lalu keluar ruangan. Aku tidak ingin dia pergi dan meninggalkan ku secepat ini. Aku ingin mengejarnya namun Mirna menahanku, mengingat beberapa rekan Dylan masih bertepuk tangan dan tersenyum lebar ke arah kami.

Mungkin saja dia tidak ingin bertemu denganku, dan dia tidak ingin menjalin hubungan apapun itu lagi denganku. Dylan, tidakkah kamu merindukan ku?

Setengah jam kemudian pertemuan ditutup dengan jabat tangan yang terjadi antara aku dan Mirna dengan rekan-rekan Dylan. Setelah itu aku dan Mirna pamit pulang. Pikiranku kalut akan Dylan, bahkan sampai kami berada di dalam lift.

Mirna menghempaskan tubuhnya di dinding lift sambil menghela napas panjang, “Akhirnya. Gila itu orang di awal-awal gue ngomong dianggap angin lalu, di akhir dia malah natap mata gue setajam itu. Untung aja gue gak grogi.” katanya ke arahku terlihat sekali dia sangat lelah.

“Yaudah, intinya kan sekarang lo berhasil tuh gapai mimpi lo. Sampai gak bisa tidur berhari-hari lagi.” godaku.

“Hahaha, eh iya loh Dib. Gila ya, stress gue, sampai gak bisa tidur gitu. Materi gue ulang-ulang aja, bikin mind map, dan segala macam. Huh, untung tembus.”

“Iya, iya, the girl of the day deh lo, hahaha.” ku sentuh bahunya sambil memberikan senyum lebarku.

“Eh, lo pulang sama gue aja ya. Udah malam nih,”

“Hm, iya deh. Makan dulu ya, lapar banget.”

“Iya, iya. Gue yang traktir kali ini!”
Mendengar kata traktir, aku spontan membentuk angka tiga dengan mempertemukan ujung ibu jari dan telunjukku.

Ketika pintu lift kami terbuka, seorang satpam sudah menunggu di depan lift. “Mbak Adiba Wigarma?” tanyanya ke arah ku. Aku mengangguk. “Silakan ikut saya, karena ada keperluan yang harus diselesaikan malam ini juga.” Jelasnya sambil masuk ke lift kami.

Aku dan Mirna saling berpandangan, “Mir, lo mending pulang duluan aja deh kasian anak lo nunggu. Gue nanti pulang naik  taksi aja lah.” kataku.

“Yakin lo?”

Aku mengangguk, “Yaudah gue duluan ya. Kalau ada apa-apa langsung telepon gue.” katanya kemudian keluar dari lift. Aku mengangguk lagi.

Pak satpam membawaku entah ke mana, karena dia menekan tiga tombol lantai berbeda. Tujuh, empat, dan tiga belas. Aku diam saja karena dia tidak mungkin memperlakukan ku dengan tidak benar di perusahaan sebesar ini, selain itu lift ini juga dilengkapi kamera cctv yang terpasang di setiap sudut. Dylan selalu memperhatikan hal-hal kecil.

Masochist (gxg)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang