Tok tok tok, seseorang mengetuk pintu kamarku secara halus tidak lama kemudian seorang wanita paruh baya memunculkan setengah dari badannya di balik pintu.
"Neng Diba, ada temannya." Kata bu Ratih, tetanggaku namun dia sering berada di sini untuk membantu nenek.
"Iya bu. Sebentar Diba keluar." Jawabku ramah.
Ku rapikan buku yang sedang ku baca dan ku coret-coret sejak tadi, tak lupa ku singgahi sebentar kaca yang ada di dinding kamar sebelum aku keluar.
Di ruang tamu, ku lihat Sika duduk dengan rapi. Tak seperti biasa, kali ini ia benar-benar rapi. Rambutnya terselip di belakang daun telinga sebelah kirinya, tidak ada lagi gelang atau apapun itu yang melingkar di tangannya.
Ia tersenyum lebar saat melihatku, biasanya ia akan menerjangku dengan sebuah pelukan erat, kali ini ia membiarkanku berjalan pelan mendekatinya.
Aku duduk di sebelahnya, masih memperhatikan setiap inci dari nya.
"Hei." Sapanya dengan senyum terlebar yang bisa ia berikan. Matanya bergejolak. Ia terlihat sangat senang.
"Hei." Jawabku bingung.
"Sebenarnya aku mau ajak kamu makan malam."
"Makan malam?" Ku lirik jam antik milik nenek di ruangan itu, pukul 10:13 malam. Ku kembalikan pandanganku padanya, "Tapi... Aku sud-"
Secepat kilat ia mengecup bibir ku, membuatku terdiam. Bagaimana bisa ia seberani itu... Maksudku, bagaimana bila nenek atau Bu Ratih melihatnya!
"Iya, tau Diba udah makan. Sebenarnya mau ke sini dari jam setengah 8, tapi telat soalnya siap-siap biar bisa serapi ini".
Aku masih terdiam. Kaget dengan apa yang baru saja ia lakukan kepadaku.
"Gak ada yang liat kok." Jelasnya.
"Jangan ngelakuin itu lagi di tempat umum." Tegasku.
"Maaf. Kangen." Raut wajahnya berubah seketika, ia terlihat sedih tapi ketahuilah, ia hanya manja.
"Tunggu sini." Aku berjalan menuju ke kamarku untuk bersiap-siap. Sebenarnya dia tidak mengatakan bahwa dia ingin mengajakku keluar, tetapi radar pikiranku mengatakan seperti itu.
13 menit kemudian, aku selesai. Dia masih duduk persis seperti sebelumnya.
Dia kembali menyambutku dengan senyumannya, "Ayo." kataku yang mulai merasa salah tingkah akibat ulahnya.
"Cantik." Ucapnya. Aku hanya tersenyum.
Ku gandeng tangannya, menuju motor yang biasa ia gunakan. Ia selalu menggunakan motor itu, peninggalan dari almarhum ayahnya. Sebenarnya, tidak ada yang suka ketika Sika mengendarai motor tua itu. Walaupun kini digemari oleh kalangan anak muda karena semakin langka, namun itu tidak berlaku untuk warga yang rata-rata sudah berumur. Motor itu memiliki suara mesin yang dapat mengganggu telinga, selain itu Sika bukanlah seorang pengendara motor yang baik. Ia akan menabrak apapun yang berada di hadapannya. Pernah waktu itu, Sika tidak sengaja menabrak beberapa ekor ayam milik warga sekaligus sampai mati. Bukan hanya itu, ia juga pernah menabrak gerobak bakso dan sate dalam 1 hari yang sama. Namun, Sika tidak pernah terluka, begitu juga dengan motornya. Dari beberapa kerusuhan yang pernah ditimbulkan seorang Sika di atas, dapat ku pastikan bahwa dia berubah menjadi pengendara motor terbaik saat dia memboncengku. Dia membuatku merasa aman.
"Diba?" Panggilnya, tak sadar kami telah keluar dari blok rumah nenekku.
"Hm?"
"Banyak bintang." Spontan aku melihat ke langit di atas kami. Bintang-bintang bertaburan, seperti semut yang mengerubungi gula. Ku rasa, aku bisa melihat galaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masochist (gxg)
Любовные романыTidak peduli apa yang telah dia katakan padaku. Tidak peduli apa yang telah dia lakukan padaku. Yang ku tahu hanyalah, aku menginginkannya terus begitu. Aku, tidak ingin dia berhenti. [Cerita Lanjutan dari Is It a Wrong Love]